Bupati dan Wakil Bupati Serang terpilih pada Pilkada 17 Desember 2020 telah di lantik tanggal 26 Februari 2021 di Pendopo Gubernur Banten Kota Serang. Tatu-Panji akan kembali memimpin Kabupaten Serang untuk kedua kali periode 2021 – 2026. Dalam kampanyenya Tatu-Panji tercatat memiliki janji kepada masyarakat kabupaten serang yang tertuang dalam visi misinya. Mengusung visi Terwujudnya Kabupaten Serang yang Semakin Maju, Sejahtera, Berkeadilan dan Agamis dengan penjabaran misi diantaranya Peningkatan Pelayanan Pendidikan, Peningkatan Pelayanan Kesehatan, Peningkatan Daya Beli Masyarakat, Peningkatan Infrastruktur Penunjang, Menghadirkan Pemerintah yang Bersih, Berintegritas dan Profesional, Menempatkan Fungsi Agama sebagai landasan Moral dan Spiritual dalam Kehidupan Berindividu, Bermasyarakat dan Bernegara. Melalui visi misinya tersebut kita berharap Kabupaten Serang dapat memberikan kesejahteraan yang menyeluruh kepada masyarakatnya sesuai dengan janji yang di ucapkan.
Pada pilpres 17 April 2019 terkhusus pemilihan DPRD Kabupaten Serang, partai Golkar berhasil meraup suara terbanyak dan dapat menempatkan kadernya, Bahrul Ulum, menjadi ketua DPRD. Kemudian berlanjut pada Pilkada Serentak 17 Desember 2020 partai Golkar kembali memenangkan kontestasi dengan mengusung petahana, Tatu-Panji. Golkar tidak sendiri, 9 partai mengikuti di belakangnya hingga dua pasangan tersebut di usung total 10 parpol diantaranya PDIP, Partai Hanura, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Berkarya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasdem dan Partai Amanat Nasional. Sedangkan di kubu lawan pada pilkada 2020 hanya menyisakan tiga partai, Partai Gerindra, Partai Demokrat dan Partai Gelora yang terbilang masih baru.
Dari
komposisi politik yang terjadi kita dapat mengamati bahwa pihak eksekutif dan
legislatif pemerintahan di kuasai oleh partai politik yang sama. Bupati dan
Ketua DPRD berasal dari Partai Golkar. Dalam hal ini Kabupaten Serang mengalami
situasi yang serupa dengan pemerintah pusat dimana Presiden dan Ketua DPR di
jabat oleh orang yang berasal dari partai yang sama. Sehingga kita khawatir
dengan penerapan prinsip Chek and Ballances tidak berjalan optimal.
Kiranya peristiwa kurun waktu tahun 2019 bisa menjadi catatan berharga dalam
mengawasi pemerintahan yang belum ideal. Berbagai upaya dalam menyampaikan
aspirasi atas penolakan terhadap berbagai persoalan di tampik begitu saja oleh
pemerintah. Rakyat Indonesia harus menahan pilu ketika RUU KPK dan Omnibus law
Ciptaker di sahkan oleh DPR dan Pemerintah. Padahal banyak elemen masyarakat
dan mahasiswa bergejolak tumpah ruah ke jalanan melakukan penolakan namun
gedung istana merdeka dan senayan tetap menutup gerbang. Lebih jauh kita juga
dapat menyaksikan bagaimana perampokan uang negara yang biasanya banyak
dilakukan oleh para politisi yang berasal dari partai penguasa. Ketika partai
Demokrat mendominasi pemerintahan selama dua periode, banyak kadernya yang
tersangkut kasus korupsi. Kini perlahan PDIP mulai menunjukkan ke khawatiran
akan terjadinya kembali hal itu.
Diketahui
berdasarkan surat keputusan DPP Partai Golkar No. SKEP-37/DPP/Golkar/VI/2020
Tentang Pengesahan Komposisi dan Personalia DPD Partai Golkar Banten Masa Bakti
2020-2025 tertera pada lampiran tersebut nama Hj. Ratu Tatu Chasanah, SE., M.Ak
(Bupati Serang) sebagai ketua DPD Partai Golkar Banten dan H. Bahrul Ulum,
S.Ag., M.AP (Ketua DPRD Kabupaten Serang) sebagai Sekretaris DPD Partai Golkar
Banten. Keadaan yang terjadi di pemerintahan kabupaten serang serupa dengan
pemerintah pusat yakni kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu
partai. Bukan hanya pada persoalan dua kekuasaan yang di pegang satu partai, di
sisi lain kekuatan pemerintah itu di topang pula oleh beberapa partai pendukung
lainnya sehingga posisi pemerintah menjadi kekuatan mayoritas. Fakta itu
menunjukkan komposisi politik pemerintahan yang belum ideal. Meskipun secara
hukum mereka sah menduduki jabatannya tersebut namun tema pembicaraan ini bukan
dalam persoalan hukum melainkan analisa politik secara esensial. Ketika prinsip
kenegaraan dan aturan yang mengikat telah mengatur agar tiga lembaga kekuasaan
negara berdiri di atas prinsip Chek and Ballances agaknya kita harus
skeptis dengan realita yang terjadi saat ini. Dimana komposisi politik kubu
pemerintah terbilang kuat.
Berangkat dari hasil analisa politik yang terjadi pada pemerintahan baik skala nasional maupun lokal kabupaten serang. Kita perlu cermat dalam mengawasi gerak langkah para pemangku kebijakan tersebut. Karena saat ini berharap kepada pengawasan legislatif sepertinya tidak cukup. Kubu oposisi baik di tingkat pusat maupun lokal kabupaten serang bisa di bilang kalah kekuatan. Di pusat hanya tersisa PKS yang menjadi oposisi sedangkan di kabupaten serang hanya tinggal Gerindra dan Demokrat. Maka upaya dalam mengimbangi pemerintah hanya tinggal berharap kepada kekuatan masyarakat sipil (Civil Society).
Masyarakat sipil merupakan sebuah konsep yang sangat luas. Cohen dan Arato (1992) mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah interaksi sosial yang di dalamnya mencakup semua kelompok sosial paling akrab (khususnya keluarga), asosiasi (terutama yang bersifat sukarela), gerakan kemasyarakatan, dan berbagai wadah komunikasi publik lainnya yang diciptakan melalui bentuk-bentuk pengaturan dan mobilisasi diri secara independen baik dalam kelembagaan maupun kegiatan. Selain itu, para pemikir modern sepakat bahwa kemandirian dan pluralitas merupakan dimensi masyarakat sipil. Dalam perjalanannya, pertumbuhan civil society indonesia pernah mengalami suatu masa yang cukup menjanjikan pertumbuhannya. Hal ini terjadi pada masa pasca revolusi tahun 1950-an, pada saat organisasi-organisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dan warga masyarakat yang baru saja merdeka. Tambahan pula pada periode ini negara yang baru lahir belum memiliki kecenderungan intervensionis sebab kelompok elite penguasa berusaha keras untuk mempraktikan sistem demokrasi parlementer. Tak pelak lagi, ia menciptakan kekuatan masyarakat yang pada saatnya mampu untuk menjadi penyeimbang atau pengawas terhadap kekuatan negara. Namun pertumbuhan masyarakat sipil yang menunjukan trend positifnya itu mengalami kemunduran ketika masa orde baru menancapkan kekuasaannya, sedangkan kini masyarakat sipil harus kembali bangkit dengan kemandirian dan independensi yang kokoh sejak masa reformasi bergulir. Melalui pemahaman atas berbagai definisi para pemikir mengenai konsep masyarakat sipil saya mendapatkan tiga aspek yang melekat padanya sebagai sebuah karakter yaitu keberadaban, kemandirian dan partisipasi.
Melalui keberadaban, kemandirian dan partisipasi, kita berharap masyarakat sipil dapat menjadi kelompok pengawas pemerintah yang bebas dari intervensi di luar dirinya sehingga pada hakikatnya menjadi kekuatan penyeimbang kubu pemerintah dalam upaya pembangunan bangsa dan negara. Apalagi dengan realita politik saat ini yang kurang ideal maka kekuatan masyarakat sipil menjadi yang paling di harapkan dalam mengawasi kebijakan pemerintah agar sejalan dengan kehendak rakyat. Bukan malah sebaliknya, mengkhianati kepercayaan yang sudah di berikan. Civil Society mewujud dalam masyarakat sebagai sebuah LSM, organisasi kemahasiswaan, lembaga filantropi, Ormas dan lembaga/organisasi sejenis lainnya. Kelompok-kelompok masyarakat sipil itulah yang kini menjadi barikade terakhir milik rakyat dalam melakukan perlawanan, kritik dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah yang keliru.
Oleh : Iman Karto, Ketua Umum KAMMI UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Referensi
1.
https://regional.kompas.com/read/2021/02/26/09574081/gubernur-banten-melantik-bupati-serang-dan-wali-kota-cilegon
3.
www.partaigolkar.com
surat keputusan DPP Partai Golkar No. SKEP-37/DPP/Golkar/VI/2020 Tentang Pengesahan
Komposisi dan Personalia DPD Partai Golkar Banten Masa Bakti 2020-2025
4.
Jurnal Makara, Sosial humaniora, Vol. 14. No. 2, Desember
2010: 117-129, Peran Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratiasi, Oleh Otho.
Hadi
5.
M. Zainor Riho, Pengantar Ilmu Politik, (Serang: LP2M
IAIN SMHB) 2015