Kalian tahu Nurmas? Cahaya dan emas.
Begitulah perumpamaan seorang wanita yang sangat ku sayangi. Ia adalah ibuku,
Saniar Nur Alma.
Aku Hildan. Saniar Hildan Nurullah. Saniar
adalah nama keturunan dari buyut-buyut sebelum ibu. Sedangkan nama Hildan, ayah
dan ibu sudah sepakat memberi nama ku begitu. Kakekku Hiliyanto, ayah ku Dani.
Hil-Dan. Begitu, sedangkan Nurullah berarti Cahaya-Cahaya Allah.
Dari aku berumur 7 tahun, ayah telah
pergi. Sakit kanker paru-paru itu, membuatku menjadi kehilangan sosok seorang
ayah. Allah memanggilnya terlebih dahulu.
“ibu, kenapa Tuhan memanggil ayah terlebih
dahulu? Apakah Hildan sudah membuat ayah sedih?” tanyaku pada ibu, sembari
menahan air mata berjatuhan, ibu menjawab.
“Karena ayah orang yang baik, nak.” Ibu
memelukku sembari tanpa henti mendo’a kan aku. Setelah ayah meninggalkan kami,
ibu menjadi sosok seorang ibu dan juga ayah untuk kedua anaknya. Apalagi
ditambah aku yang memiliki adik perempuan yang menggemaskan, Saniar Asmaul
Husna. Ayah pergi ketika Husna berumur 8 bulan.
Husna sekarang baru berumur 5 tahun, tapi
ia sangat pintar. Ia sudah mengerti kenapa seorang Ayah yang seharusnya ia
miliki, telah pergi.
“Hildan, tolong ambilkan air di sumur, ibu
mau masak air.” Setelah mendengar perintah ibu aku bergegas mengambil ember di
depan rumah kecil kami. Jarak dari rumah ke sumur hanya beberapa meter dari
rumah. Aku melewati jalan setapak, dan menemui sumur yang bersih, kampung
tempat ku tinggal masih asri. Walaupun sudah dari dulu-dulu sekali.
Satu ember terisi penuh, aku kembali
berlari ke rumah. Air bergoyang-goyang hingga keluar dari ember kecil.
“ibu, ini air nya!” ibu segera keluar
rumah membantuku mengangkat ember. “terima kasih, nak!” ibu memelukku hangat.
“ibu Alma,” Bu Santi, teman ibu, mengetuk
pintu. “eh, bu Santi. Ada apa?” ibu mengelap tangannya di lap yang tergantung
di dinding.
“ini bu, Malda, anak Pak Yayan, mau nikah,
ini udangannya.” Setelah memberikan undangan Bu Santi cerita banyak sama ibu.
Aku pergi main, Husna juga aku ajak. Kami bermain air, hingga terdengar adzan,
Allahuakbar… Allahuakbar…
“Husna! Adzan, pulang yuk!” Husna
mengangguk setelah memakai handuk kami balapan lari ke rumah. Aku lupa satu
aturan ibu.
Didepan rumah, ibu menyilangkan tangan di
dada.
“ibu bilang apa Hildan, Husna, pulang
sebelum adzan maghrib, kalian selalu melanggar.” Ibu berkata pelan tetapi
tajam, “cepat ganti baju, lalu shalat.”
Ibu selalu mengajari kami disiplin, tegas,
dan tahu waktu. Karena itulah ibu sering berkata tentang menepati aturan, dan
tepat waktu.
Walaupun ibu GaTul, Galak Betul, ibu
memiliki hati yang baik. Tidak pernah sekalipun ibu lupa dengan orang-orang
yang kurang mampu, anak yatim, dan orang-orang lansia.
“hari ini, kalian kena hukuman. Tidak ada
yang tidur dikasur.” kami hanya mengangguk. Malam begitu sunyi. Dingin, menusuk
kulit. Ditambah kami tidur di lantai. Husna sudah tidur pulas. Ibu selalu
seenaknya. Selalu menghukum, menghukum, menghukum. Salah dikit, di hukum. Ibu
tidak punya perasaan.
“HILDAN! HUSNA! LIHAT INI JAM BERAPA!
KALIAN BELUM SHALAT SUBUH!” setelah mendengar bentakan ibu, kami berlari ke
kamar mandi. Setelah berwudhu, kami shalat.
“Hildan, Husna. Kalian mau sampai kapan
seperti ini, hah? Kalian memang harus selalu di hukum. Baru nurut. Kenapa sih?
Pusing ibu!” Husna menitikkan air mata. “terserah kalian sekarang.” Ibu kembali
ke dapur.
“sudah, Husna.” Aku mengajak Husna
kembali. Setiap hari pasti selalu seperti ini. Ibu selalu marah marah. Sekarang waktunya sekolah.
Setelah belajar berjam-jam, waktu yang
kami tunggu pun, datang.
TING! TING! Bell
pulang berdenting, “begitu anak-anak. Sekarang waktunya pulang.” Ah, aku harus
bertemu ibu lagi. Tapi tiba-tiba temanku, Malli, bertanya.
“Bu Ririn, memangnya orangtua harus
disayang, ya?”, Bu Ririn menjawab cepat,
“Ya ampun, Malli, kamu ini bagaimana? Kelas 5 SD, masih bertanya seperti itu.
Jawabannya tentu lah. Malli, tanpa orang
tua kita, kita bukan apa apa lho. Orang tua juga harus disayang, terutama ibu.
Karena saat Rasulullah ditanya, siapa yang harus diutamakan dari ayah atau ibu,
beliau menjawab ibu sebanyak 3 kali.” kami ber Oh bersamaan. Terkecuali aku.
“Assalamualaikum, ibu, Husna, Hildan
pulang.” Aku membuka pintu. Langsung tiduran di kasur ruang tengah. “kebiasaan,
Hildan. Seragam, tas, kaos kaki, simpen dulu. Terus cuci seragamnya. Kalau ada
PR simpen meja, kerjain.” Ibu berkacak pinggang. Dimarahin lagi, dimarahin
lagi.
Karena aku ngga mau kena marah lagi, aku
bergegas melakukan yang ibu suruh.
“lamanya, Hil. Ibu aja udah selesai nyuci
tuh.” Ibu menunjuk gunungan baju yang selesai dicuci. Terserah ibu lah…
aku menyikat seragam, rendam dengan pewangi, jemur. PR, oh iya, PR Bu Ririn.
“aduh Hildan, bukan gitu jemurnya.” Aduh, Ibu. Baru mau ngerjain PR. Eh, PR
dari Bu Ririn apo yo?Oh iya, tuliskan pekerjaan ibumu dirumah!
Marah-Marah.
“apa Bu? Itu udah bener, kok!” aku mencoba
membela diri. “itu masa, numpuk sih!? Gini, lho!” ibu menunjukan caranya. Terserah
aku sih, Bu!
“udah sana! Kerjain PR nya, kalau kamu
ketauan main-main…” ibu menunjuk kayu yang ada di sebelah pintu. Ya, kalau aku
belajar main-main, kayu itu tega mengenai betisku.
Aku segera menulis apa saja yang aku tahu,
tentang kerjaan ibu di rumah. Beres-beres rumah, nyuci baju, ngurus aku sama
Husna. Masak, nyiapin minum, ngerapihin kamar, ngepel lantai. Tunggu, setelah
sekian lama aku baru sadar. Pekerjaan ibuitu… banyak. Numpuk, tapi… ibu bisa
ngerjain semuanya. Dengan ikhlas, demi… aku dan Husna. Tanpa terasa air mataku
terjatuh.
“Hildan?” saat aku menyadari ibu datang,
aku menghapus air mataku. “i.. ibu… kenapa? Hildan lagi ngerjain PR, kok!” ibu
mengangguk pelan. “PR apa?”,
“matematika,” aku berbohong. “oh, kerjain
yang bener.” Ibu melangkah pergi. Sebenarnya yang harus marah itu, ibu. Yang
harusnya kecapekan itu… ibu. Seharusnya aku bersyukur, ibu telah menjadi ibu
sekaligus ayah untukku dan Husna.
Husna terkena demam. Sudah dua hari ia
tidak beranjak dari tempat tidur. Ibu mengurus Husna sembari melakukan
tugasnya. Ibu tidak pernah mengeluh, Ibu dengan ikhlas mengurus segalanya.
Untuk kedua anaknya. Ibu… adalah segalanya, ia perempuan yang hebat. Ibu selalu
berharap kepada Allah, agar selalu dimudahkan pekerjaanku. Agar aku menjadi
anak yang sukses. Agar aku dan Husna selalu diberi kemudahan dalam segala hal.
Aku baru menyadarinya sekarang. Ibu.., satu-satunya wanita yang sangat teguh
dalam hidupku. Ibu… Terima Kasih…
“Hildan, ibu hampir lupa. Minggu besok kamu
liburan kan? Kita ke Kampung Allakia ya? Pernikahan anak Pa Yayan. Jadi
siap-siap, bawa baju sama yang diperluin aja. Semoga besok Husna udah sembuh.”
Do’a ibu memang mengalahkan Do’a siapapun
ya, hari ini… Husna sudah sembuh, Husna udah bisa jalan lagi, ke kamar mandi
sendiri dan sebagainya. Kami pun memeluk Husna senang, kata Bidan, Husna kena fase
awalTipus. Alhamdulillah, sekarang Husna sudah sembuh. Ibu memang pahlawan
yang sesungguhnya. Ibu bisa tabah, walau bagaimana pun juga. Aku sayang Ibu.
Selesai mengerjakan PR, aku membereskan baju-baju yang ingin dibawa. Selesai
semua baju, aku mandi sebentar, lalu pergi ke Masjid Al-Fath. Shalat Maghrib,
mengaji dengan Ustadz Ali.
“anak-anak, tahu tidak? Siapa orang yang
paling berjasa ke hidup kita?” semua mengangguk. “siapa?” Tanyanya lagi.
“Ayah
dan Ibu!” Ustadz Ali tersenyum. “itu benar anak-anak..” aku hampir menitikkan
air mata kembali. Mengingat jasa Ibu yang begitu besar, dan mengganti peran
Ayah yang telah dipanggil Allah Swt.
Hari kepergian ke Malang pun tiba, kami
telah rapi menggunakan baju pergi. “HILDAN! PAKAI BAJU KEMEJA!” aku menggeleng,
“enakan kaos, Ibu..”.
“tidak, KEMEJA.” Ibu memaksaku menggunakan
kemeja. Dengan helaan nafas berat, aku menurut. Lagi dan lagi.
Kami sampai di Stasiun Garbangga, pukul 1
siang, di stasiun sudah ramai. Maklum, hari libur. Setelah membeli tiket
kereta, lalu menunggu dipanggil. Pukul setengah 2 siang, kereta jurusan Kampung
Liraga-Allakia datang. Kami ada di gerbong satu. Di kelas ekonomi ini lumayan
berdesakan, tetapi Nyaman. Barisan A nomer 1-2-3, kami di barisan paling depan.
Ibu dan Husna melihat sekitar, Husna terlihat antusias menaiki Kereta.
PONG!!! Kereta jurusan Kampung
Liraga-Malang mulai mendesir, lalu berjalan. Kami berdo’a. perjalanan ini
memerlukan waktu 5 jam. Aku membaca buku, Mesir, Negara dimana Semua
Berakhir. Buku ini mengisahkan dimana Rijal, berpisah dengan ibunya di
Negara Mesir.
“ibu.. dengar aku
ibu,” Rijal menangis sejadi-jadinya.
“Rijal, ingatlah,
dimanapun kamu berada kamu bersama Allah.” Setelah mengatakan itu Ibu Rijal
meninggalkannya selamanya. “IBU!!”.
Aku menangis.
Ibu.. tanpa ibu, aku jadi apa? Aku mungkin bagaikan Ikan tanpa air. Aku
mengingat semua dosa yang telah kulakukan kepada ibu, banyak. Menggunung. Jika
ada tingkat pemilik Dosa terbanyak di dunia, itu adalah Saniar Hildan Nurullah.
Aku bukan Nurullah. Aku bukan cahaya. Aku kegelapan! Aku Kegelapan. KEGELAPAN.
Ibu… maafkan aku.
3 jam berlalu, aku
menamatkan 2 buah buku. Ibu Maafkan
Aku, dan Dalam Dunia Mimpi Buruk. Kedua buku ini mengingatkan aku
jasa seorang ibu. Ibu itu ibaratnya Matahari. Tanpa adanya matahari, dunia ini
gelap gulita. Ibu, tiada manusia yang dapat menggantikannya. Dia adalah
perempuan yang hebat!
PONG!!! Bunyi peringatan
memasuki jembatan terdengar. “ibu sebentar lagi kita kejembatan Tarasungai ya?”
aku bertanya, Ibu tersenyum, lalu mengangguk. Dalam hitungan detik aku melihat
hamparan luas Sungai Siwluk. Sangat indah, Subhanallah…
JGAR!!! Saat
kami sedang melihat keindahan Sungai Siwluk, jembatan terhancur. Bagian depan
jembatan runtuh. Kami semua terperanjat. Runtuhan itu tenggelam ditelan sungai
Siwluk. Terkejut bukan main. Gerbong kami miring 180 derajat. Syukurnya masih
tertambal dengan gerbong dua,
“ASTAGFIRULLAH!”
ibu berseru, terperanjat. Pintu belakang gerbong dibuka paksa.
“BAPAK IBU CEPAT!”
Walau dalam keadaan genting itu ibu mempersilahkan yang lain lebih dulu. “ibu
kenapa mendulukan yang lain!?” aku sedikit kaget dan kesal melihat ibu. “tenang
Hildan, ada Allah tidak usah takut.” Ibu berkata pelan sambil tersenyum.
Sekarang bagian kami. Gerbong sudah kosong, tidak ada orang, kecuali kami.
JGGARR! Gerbong kembali goyang. Kami berlari, aku menggandeng Husna, berlari ke
pintu. Alhamdulillah, dengan izin Allah, kaki ku sudah melompat dan mendarat di
rel yang masih Kokoh. Saat ibu mau keluar, aku sudah senang. Tetapi Allah
berkata lain. Gerbong itu tergoncang kembali, pertahanan itu rusak dan gerbong
itu terjun, sebelum semua telat, ibu berkata.
“Hildan.. kau
adalah sebelum Nur dan Mas, Matahari. Ibu menyayangi kalian, Hildan, Husna. Jadilah
NURMAS YANG SESUNGGUHNYA. Selamat tinggal, cahaya-ku,” Ibu tersenyum. Senyuman
terakhir yang kami lihat. Setelah itu, ibu tertelan Sungai Siwluk bersama
Gerbong itu.
“IBUUUUUUUUUU!!!!”
Aku dan Husna berteriak. Ibu tenggelam bersama puing puing jembatan dan Gerbong
Satu. Kau adalah sebelum Nur dan Mas, Matahari. Aku terduduk lemas
bersama Husna. Beberapa warga mengerubungi kami.
Kami kehilangan
sosok penting dalam hidup kami sekali lagi.
Ayah
Ibu. Berbahagialah disana.
Sekarang aku
berumur 25 tahun. Ucapan ibu 13 tahun yang lalu menjadi kenyataan. Aku lulus
kuliah dengan Cum Loude. Juga mendapat beberapa gelar yang saat itu aku
sendiri yang mendapatkannya. Salah
satunya adalah gelar Cancellor Award. Setelah kejadian 13 tahun silam, 5
hari dicari, jasad ibu ditemukan dengan muka berseri dan bersih. Tanpa sayatan
satu pun. Hanya Allah yang tahu. Tapi… terima kasih ibu. Aku dan Husna
menziarah kuburan Ayah dan Ibu. Kami sujud dan menangis. Ayah Ibu, terima
kasih… kami menyayangi kalian.
-SELESAI-
M. ALIF ARZADY
M. ALIF ARZADY