(Ilustrasi by Google Images) |
Dalam
beberapa tahun terakhir, sangat banyak kasus ujaran kebencian terjadi di
Indonesia. Reaksi masyarakatpun beragam, ada yang menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar
namun ada pula pendapat bahwa hate speech yang dilontarkan oleh orang lain tersebut sudah
kelewat batas. Sebenarnya apasih hate speech itu?
Di
Indonesia, perangkat hukum guna menjerat pelaku ujaran kebencian terdapat di
pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal 4 dan 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008
tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta pasal 156, pasal 157,
pasal 310 dan pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Aturan
tersebut terkait dengan perilaku menyerang kehormatan atau nama baik
(pencemaran) serta menimbulkan permusuhan, kebencian individu dan atau kelompok
masyarakat tertentu (SARA). Sebenarnya, tujuan pasal tersebut adalah untuk mencegah
terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada
SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Dikarenakan isu SARA
dalam pandangan masyarakat Indonesia merupakan isu yang cukup sensitif.
Ancaman
pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2)
UU ITE, yakni:
Setiap
Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Artinya,
pelaku hate speech dapat dikenai
sanksi pidana jika dilaporkan oleh sang korban.
Lantas
apa perbedaan antara hate speech dan kritik atau kebebasan berpendapat?
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari kritik adalah: kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai
uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan
sebagainya. Kritik yang disampaikan sejatinya
dalam rangka memperbaiki pendapat atau perilaku seseorang. Sebaliknya, bukan
didasarkan atas kebencian terhadap orangnya. Kritik dilakukan dengan
menggunakan pilihan kata yang tidak menyinggung perasaan, sopan dan bijaksana
tanpa mengurangi esensi dari kritiknya.
Sementara terkait kebebasan berpendapat tetaplah harus
dilaksanakan secara bertanggung jawab dan terkendali.
Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas membatasi hak asasi
manusia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dan semata-mata untuk ntuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Selanjutnya
dalam UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 2 berbunyi
"Setiap orang berhak untuk mempuyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan
pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalu media
cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Lebih
lanjut juga diatur dalam Pasal 4 UU no.9 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Berpendapat dimuka umum dikatakan
bahwa penyampaian pendapat harus mewujudkan kebebasan bertanggung jawab.
Kebebasan yang dimaksud adalah dengan memperhatikan norma yang berlaku.
Oleh
karenanya, meskipun Indonesia merupakan negara yang menjamin Hak Asasi Manusia
(HAM), namun rakyatnya tetap diharuskan untuk mengkonsiderasikan kepentingan
umum dalam memenuhi hak individunya. Terlebih Indonesia merupakan negara yang
plural dengan penduduk yang sangat beragam sehingga untuk menjaga keutuhan
dalam kehidupan bersosial, sudah selayaknya aturan hukum mengenai hate
speech ditegakkan terutama diera globalisasi sekarang ini, dimana informasi
teknologi berkembang cukup pesat dan komentar mengenai ujaran kebencian sangat
masif terjadi di sosial media hingga menimbulkan dampak yang signifikan bagi
para korban. Dengan adanya aturan spesifik dalam KUHP dan UU ITE terhadap
pelaku hate speech disertai sanksinya seperti yang telah dijelaskan
diatas, maka diharapkan kasus-kasus ujaran kebencian dapat berkurang di
Indonesia dan masyarakat lebih mengerti dan sadar dalam memfilter segala
sesuatu sebelum dilontarkan menjadi konsumsi publik.
Oleh: Raudhatul Jannah
Oleh: Raudhatul Jannah