-->
  • Jelajahi

    Copyright © Youth Indonesian
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Cerpen : Memahami Untuk Mencintai

    Admin
    Kamis, 20 Februari 2020, Februari 20, 2020 WIB Last Updated 2022-09-09T08:08:05Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Memahami untuk Mencintai 
    Oleh: Ulfah Hajar Munawaroh

    Halooo... perkenalkan namaku Arini Sabila Al-Haq, aku seorang anak pertama dengan satu adik laki-laki. Terlahir menjadi seorang anak pertama adalah takdir Allah untukku, bukan sebuah pilihan apalagi permintaan. Benar kata orang, beban yang dipikul anak pertama itu amat berat. Persis seperti yang kurasakan, harus menjaga adik, berbagi dengan adik, mengalah dengan adik, bahkan tak jarang aku dimarahi, atau dipukul karena adikku. Seringkali bunda mendiamkanku karena bertengkar dengan adikku, bunda nggak mau peduli apa yang kurasakan, yang dipikiran bunda hanya adik, adik, dan adik. Sudahlah memang ini nasibku.

    Suatu hari bunda pernah memarahiku karena tidak mau mengalah pada adik. "Kakaaak... berikan mainannya pada adikmu, kamu kan sudah gede masih aja nggak mau ngalah." bentak bunda sambil mencubit lengan atasku. Lagi-lagi harus aku yang ngalah, padahal itu mainan milikku dan adik sudah dari tadi kupinjamkan mainan tersebut.
    Beberapa hari yang lalu saat adik dibelikan mainan baru aku tidak dipinjamkan. Kebetulan bunda juga hanya membeli satu mainan saat itu, bunda bilang uang bunda cuma cukup untuk membeli satu mainan dan itu sudah pasti untuk adikku, karena adik masih kecil. Selalu itu alasannya, aku lagi, aku terus, dan selalu aku yang harus mengalah. Dan hari ini saat ayah membelikanku mainan baru akupun tetap tidak bisa menggunakan mainan itu karena adik lebih tertarik dengan mainan milikku.

    Akupun berlari ke kamar dan menangis. Sakit sekali rasanya, bukan, bukan lenganku yang sakit. Ya sikap bunda yang selalu pilih kasih yang membuatku sakit, kalau cubitannya sih tidak seberapa mungkin karena aku sudah terbiasa.
    "Ya Allah kapan sih aku bisa bahagia? Kapan sih bunda nggak marahin aku? Kapan sih bunda menyayangi aku kayak bunda menyayangi adik? Apa bunda nggak sayang sama aku? Aku ini anak bunda bukan sih?" ungkapku sambil menangis. Setiap kali dimarahi bunda aku hanya bisa menangis, karena ayah jarang sekali di rumah ia menghabiskan waktunya untuk bekerja.

    Lagi-lagi hanya perkataan ibu guru yang menguatkanku, "kalau bundamu marah itu tandanya bundamu sayang sama kamu." ungkapnya saat aku mengadukan perlakuan ibu padanya. Tapi semakin hari kupikir perkataan itu sudah tidak masuk akal. Sayang kok mukul, sayang kok bentak... 
    Suatu hari aku telah sampai pada ambang batas kesabaranku. Apa yang harus aku lakukan ya? Apa aku pergi aja dari rumah? Aku pengen sehari aja nggak di rumah, pasti tenang, damai, dan yang pasti bahagia, pikirku.
    Keesokan harinya, bertepatan dengan hari kelulusan sekolahku. Ya aku baru kelas 6 SD, masih kecil bukan?? Tapi bunda menuntutku macam macam, dia pikir aku nggak punya perasaan, nggak punya keinginan. Oke... Hari itu ayah menawariku untuk melanjutkan sekolah SMP di sebuah pesantren di luar jawa. Waahh... Ini sih namanya hadiah dari Allah. Semacam buah dari kesabaranku selama ini kalau kata orang-orang dewasa. Hehehe... 
    Dasar bocah, tanpa pikir panjang aku menerima tawaran ayah dan menyambut dengan semangat tawaran itu. Bahkan aku terlalu antusias untuk mempersiapkan barang-barang yang akan kubawa ke pesantren. Saat itu motivasi terbesarku masuk pesantren bukanlah ingin masuk surga atau menjadi seorang hafidzoh, motivasiku hanya ingin terbebas dari omelan bunda yang selalu membuatku sakit hati.

    Tibalah tahun ajaran baru, dan itu artinya penderitaan aku akan segera berakhir. Di pikiranku saat itu hanya lingkungan baru, teman baru, apalagi kalau teringat cerita dari kakak kelasku yang sudah masuk pesantren tahun lalu, yang terbayang hanya kebahagiaan. Sudah tak sabar ingin segera sampai di pesantren.
    Aku sampai di pesantren malam hari, suasana pesantren pun sudah sepi. Syukur kami sudah janjian dengan salah satu pengurus pesantren. Sesampainya di depan asrama ia sudah menunggu kami di depan pintu dan menyambut kami dengan ramah. Setelah beramah tamah, kami langsung diantarkan menuju ruangan kamarku. Bunda membantuku memasukkan barang bawaanku ke dalam lemari dan merapihkannya.

    Sejak di perjalanan menuju pesantren bunda hanya diam, ketika membereskan barang-barang pun bunda cuma diam. Aku pikir bunda bakal bahagia karena setelah ini nggak akan ada lagi yang gangguin adik, nggak akan ada lagi yang harus bunda marahin. Entahlah aku nggak bisa baca pikiran bunda. Setelah selesai membereskan barang-barang ayah, bunda, dan adik pun pamit karena khawatir kemalaman. "Hati-hati ya, jaga diri baik-baik, belajar yang rajin ya kak." pesan ayah saat kami bersalaman. Setelah itu ganti bunda yang memelukku dan menciumku sambil berkata, "maafin bunda ya nak, kamu baik-baik disini, jangan sampai telat makan ya." pesan bunda padaku. 
    Kenapa jadi sedih ya dengar bunda berkata seperti itu, pikirku. Ah ... paling kebawa suasana aja. Terakhir aku mencium adikku dan mengatakan, "dadah adiiik, jangan nangis ya kakak tinggalin. Hehehe... (pasti bunda akan lebih perhatian dan sayang sama kamu kok setelah kakak di pesantren)." lanjutku dalam hati.

    Setelah ayah, bunda, dan adik masuk ke dalam mobil dan bersiap pulang, ternyata adik menangis sambil melambaikan tangannya ke arahku, "kakaak... Kakaaak..." isaknya dalam tangisan. Akupun ikut melambaikan tangan ke arahnya. Ayah tetap melajukan mobilnya dan akupun kembali masuk ke kamar. Paling bentar lagi juga adik berhenti nangisnya, pikirku.

    Tak terasa sudah sepekan aku tinggal di sebuah pesantren, itu artinya sudah sepekan aku terpisah jauh dari keluargaku, dan sudah sepekan juga aku tak mendengar omelan bunda dan tangisan adikku. Rindukah aku pada keluargaku? Entahlah, sejak hari pertama aku di pesantren aku tidak merasakan apa-apa. Teman satu kamarku banyak yang sudah menangis, merayu ustadzah untuk menelpon orang tuanya, bahkan ada yang sampai sakit. Bagaimana dengan aku? yang jelas sejauh ini aku baik-baik saja. Aku mengikuti rangkaian kegiatan pesantren dengan semangat.
    Di pesantren kami setiap santri mendapat jatah menghubungi orang tua sepekan sekali setiap hari Jum'at. Pekan ini aku tidak kebagian jatah menelpon, maklum pekan pertama pasca liburan semua santri ingin berlama-lama berbincang dengan keluarganya mengobati rindu katanya. Tak apalah toh aku sehat, uang jajan dan perbekalanku pun masih banyak pikirku.
    Genap satu bulan aku di pesantren, selama itu pula aku tidak menangis padahal aku belum kebagian jatah penelponan dan belum dijenguk. Berbeda dengan temanku yang lain, sebagian dari mereka sudah banyak yang dijenguk, bahkan pulang karena sakit. "Rin, memang kamu nggak kangen ayah dan bundamu?" tanya salah satu temanku. "kamu kok aku perhatiin sebulan ini belum pernah nangis padahal di kamar ini cuma kamu yang belum ditelpon dan belum dijenguk." selidik temanku. Kalau ditanya seperti itu aku jadi tambah bingung, aku bingung kenapa aku harus sedih, ini kan yang aku inginkan, jauh dari bunda supaya tidak dimarahin terus, jauh dari adik yang suka bikin kesel dan buat aku kena marah bunda, dan kekesalan lainnya.

    Di penghujung bulan agenda rutin di pesantren kami adalah muhasabah diri, semacam agenda renungan, biasanya diisi oleh ustadzah atau kakak pengurus. Bulan ini agenda muhasabah diisi oleh ustadzah kami. Ustadzah memulai muhasabah dengan meminta kami untuk mengingat kembali apa tujuan kehadiran kami di pesantren?. Ustadzah menjelaskan bahwa kehadiran kami disini adalah sebuah perjuangan yang balasannya bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Sejatinya semua orang tua akan merasa sedih melepas anaknya untuk tinggal jauh dari mereka, namun demi keberhasilan anaknya ia buang jauh-jauh rasa sedih tersebut. Ustadzah juga meminta kami untuk menghapus perasaan marah, sebal kepada orang tua kami karena sudah menghantarkan kami ke pesantren ini dengan lebih serius lagi belajar disini. Ustadzah menutup muhasabah dengan memberikan ilustrasi jika lusa atau suatu hari nanti kami mendapat kabar bahwa orang tua kami sudah tiada. Dan kondisinya kami disini masih marah dan sebal kepada mereka. Perkataan terakhir ustadzah sangat menohok diriku, ya sampai detik ini aku masih berpikir ayah dan bunda nggak sayang sama aku buktinya sudah sebulan aku di pesantren mereka nggak ada telepon aku atau meminta tanteku untuk menjengukku. Apa ayah dan bunda juga merasa sedih saat melepas anak pertamanya? Ah... mungkin itu berlaku untuk orang tua yang melepas anak semata wayangnya atau anak bungsunya.

    "Tak ada satupun di dunia ini orang tua yang membenci anaknya. Mungkin seringkali ayah dan bunda memarahi kita, tapi ayah dan bunda marah bukan karena membenci kita, mereka marah karena ingin anaknya menjadi yang terbaik. Namun terkadang mereka bingung bagaimana cara menasihati kita. Karena ketahuilah nak tak ada satupun sekolah untuk para calon orang tua. Sedangkan tanggung jawab menjadi orang tua itu amatlah berat. Ia dimintai pertanggungjawaban oleh Allah bukan hanya..." penutup muhasabah malam itu berhasil membuat pertahanan air mataku jebol, bahkan aku sudah tidak mendengar perkataan ustadzah setelah itu. Ya untuk pertama kalinya aku merasa sedih, bahkan menangis setelah satu bulan aku hidup terpisah dari ayah dan bunda.

    "Ya Allah... Kenapa selama ini pikiranku jahat banget, aku egois, aku cuma memikirkan perasaanku, aku nggak peduli perasaan ayah dan bunda, bahkan aku terus berprasangka buruk pada mereka." aku hanyut dalam perasaan sedih dan menyesal malam itu. Malam ini aku menyadari hakikatnya bukan ayah dan bunda yang tidak bisa memahamiku, sebaliknya justru akulah yang selama ini tidak berusaha memahami mereka. Semalam suntuk aku tidak bisa tidur ingin cepat besok pagi dan meminta ustadzah untuk menelpon ayah dan bunda.
    Keesokan harinya...
    "Ustadzah, aku boleh pinjam HP? aku ingin telpon ayah dan bunda, sudah sebulan ini aku selalu tidak kebagian jatah menelpon, aku cuma mau tahu apakah ayah, bunda, dan adik sehat. Bentaaar aja dzah!!!" rayuku pada ustadzah. Ustadzah pun mempersilahkan aku masuk ke rumahnya. "Ya sudah, ayo silahkan masuk nak!!" ucap ustadzah.
    "Tuuutt... Tuuutt..." ayah masih belum mengangkat panggilanku. "Iya assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." terdengar suara ayah. Ahhh... Aku rindu suara ini. "Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, ayah sehat?" ucapku. "Kakaaak? ini benar kakak?" tanyanya seperti tidak percaya. "Bundaaa... kakak arini telpon, adiiik... sini sayang ada kakak arini nih." terdengar ayah berteriak memanggil bunda dan adikku.
    "Alhamdulillah sehat kak, akhirnya kakak telpon kami. Sudah sebulan kami menunggu telpon dari kakak. Adikmu juga sebulan ini merengek terus pengen bertemu kamu. Tapi sebulan ini pekerjaan ayah lagi banyak, bunda juga sempat sakit pekan lalu. Kayaknya bunda sakit kepikiran kamu tuh, bunda setiap malam nangis katanya kangen kamu. Ditambah saat mengantarkanmu ayah lupa meminta nomor ustadzahmu. Ayah ingat setiap pekan santri kan dapat jatah penelponan. Akhirnya kami putuskan untuk menunggu saja telpon darimu. Tapi sudah satu bulan berlalu sejak kamu masuk pesantren belum ada juga telpon dari kamu. Bahkan bunda sempat bilang sama ayah kayaknya kakak marah sama kita yah karena kita masukkin ke pesantren. Saat itu ayah hanya bisa menjawab, sepertinya kakak lagi banyak agenda bun." jelas ayah. "Akhirnya tadi pagi ayah memutuskan untuk meminta tante untuk ke menjengukmu, tapi ternyata tantemu juga agenda di kampusnya sedang padat, menyambut mahasiswa baru katanya. Tapi alhamdulillah sekarang sudah bisa dengar suara anak ayah, ayaaah senang sekaliii, lega rasanya, yakan bun?? Yakan diiik??" sambung ayah sambil bertanya pada bunda dan adikku. Sejenak suasana di seberang telpon hening. 
    "Halo kakak, kakak sehatkan?" Ya ini suara bunda, sudah genap sebulan aku tidak mendengar suaranya. Tanpa diminta air mataku menetes. Ya Rabb ternyata aku merindukannnya. "Iya bunda kakak alhamdulillah sehat." jawabku singkat berusaha menahan isak tangis. Huuuhhh...tarik nafas, keluarkan. Huuuuuhhh...tarik nafas keluarkan.
    "Bunda dan adik apa kabar? Maaf ya kakak baru telpon sekarang. Tadi kata ayah bunda habis sakit ya. Sekarang masih sakitkah? adik bagaimana sekokahnya?" tanyaku tak sabar ingin mengetahui kabar mereka. "Alhamdulillah bunda, adik, ayah semuanya sehat nak." jawab bunda. "Adik juga sekolahnya rajin kok kak, sekarang adik nggak susah lagi dong dibanguninnya." ucap adik penuh semangat. Ahhh... Aku merindukan celoteh ini. Ya dulu aku juga sering ikut jadi korban keterlambatannya kalau ia sedang susah bangun pagi. 
    "Kakak tahu nggak kemarin setelah antar kakak ke pesantren adik nggak berhenti nangis dari mulai gerbang pesantren sampai pelabuhan, padahal matanya meram tapi air matanya terus mengalir, bahkan sesekali mengunggamkan nama kakak." lapor bunda. "Itu tuh bikin bunda ikutan sedih tau, bunda jadi ngerasa bersalah dulu sering marahin kakak, cubit kakak, nyalahin kakak, huuuufft." sambung bunda.
    "Bunda udah dong, kakak sudah nggak ingat-ingat itu lagi kok. Justru sekarang kakak mau mengucapkan banyak terimakasih sama ayah dan bunda karena sudah mengizinkan kakak merasakan kehidupan di pesantren. Disini teman dan gurunya baik-baik. Kakak bahagia, dan yang paling buat kakak bahagia adalah ustadzah sering mengingatkan kalau kakak lulus dari pesantren bisa jadi hafidzhoh, nanti kakak bisa kasih mahkota untuk ayah dan bunda di akhirat kelak, nanti kita juga bisa bareng-bareng masuk surganya Allah. Jadi bunda, ayah, dan adik harus doain kakak ya." pintaku pada ayah, bunda, dan adik.

    Sejak saat itu, bunda semakin baik dan perhatian terhadapku. "Nanti kalau aku udah lulus SD aku juga mau pesantren biar disayang terus sama ayah dan bunda, kakak enak sekarang mau apa-apa dibeliin terus sama ayah bunda." keluh adikku suatu hari. Aku pun sudah lama melupakan dan memaafkan setiap kekhilafan yang pernah ayah dan bunda lakukan. Aku yakin setiap sikap dan perilaku mereka terhadapku dulu adalah bentuk kegamangan mereka dalam mendidik anak, apalagi aku terlahir sebagai anak pertama. Seperti kata ustadzah tidak ada satupun di dunia ini sekolah untuk menjadi orang tua. Ya kebayangkan betapa bingungnya mereka saat itu.

    Sudahlah, saat ini yang harus kulakukan hanyalah berjuang untuk menyelesaikan hafalan Qur'anku agar aku bisa membahagiakan orang tuaku bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. "Ya Rabb... Sebagaimana kau persatukan kami di dunia. Maka persatukanlah pula kami di akhirat, di dalam surgamu. Dan kelak aku akan bersaksi di hadapanmu orang tua ku adalah orang tua terbaik. Dan mereka sudah menunaikan amanahmu dengan sebaik-baiknya."

    #TugasmenulisYouthpress
    #Harapan
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Ekonomi & Bisnis

    +