YOUTHINDONESIAN - Menjadi seorang mahasiswa atau sarjana dan berpendidikan tinggi adalah sebuah kebanggaan tersendiri, apalagi jika kemudian menjadi seorang intelektual penggerak yang bisa hadir di tengah masyarakat dan memberikan banyak kontribusi serta perubahan sosial bagi kemajuan masyarakat tersebut.
Tentunya, hal itu menjadi dambaan idealis bagi mereka yang dulu memiliki pemikiran-pemikiran revolusioner, progresif dan idealisme yang tinggi.
Tapi, dalam realitasnya, berangkat dari pengalaman dan keluh kesah teman-teman sejawat, yaitu para mahasiswa dan lulusan sarjana, Idealisme serta progresifitas yang dulu digaungkan, yang didapatkan dari buku-buku yang dulu pernah mereka baca, idealisme yang dulu didapatkan dari diskusi dan dialektika, hingga membuat diri bergelora untuk melakukan aksi-aksi progresif revolusioner, ternyata tak sanggup menghadapi hantaman realita hidup dan kapitalisme yang sudah terlanjur mendarah daging di tengah masyarakat.
Saat di kampus dan sosial media begitu keras menggaungkan dan menyuarakan perjuangan bagi kaum tertindas, kaum lemah dan termarjinalkan.
Tapi, saat selesai dari kampus dan pulang ke rumah, saat balik ke kampung, justru mereka merasa teralienasi, terasingkan, merasa berjarak dengan masyarakat tempat tinggalnya sendiri, bahkan tak pernah kembali ke kampung halamannya.
Bila pun pulang ke kampungnya, kehadirannya tak berarti apa-apa, dan bingung akan melakukan apa. Walaupun tidak semuanya demikian, tapi hanya sedikit yang kemudian berhasil masuk dan bergabung di tengah-tengah masyarakat dan memperjuangkan cita-cita idealisnya, serta menjadi penggerak sosial di lingkungannya.
Mereka para intelektual dan pemikir progresif yang teralienasi baru tersadar, bahwa sistem kapitalistik telah merasuk dalam pola pikir masyarakat, menjadi sebuah budaya yang di mana nilai materil menjadi patokan terhadap sebuah penghargaan dan penghormatan kepada seseorang.
Sehingga, ketika mereka mengajak dan melakukan gerakan progresif untuk masyarakat, masyarakat akan melihat pada nilai materil, apakah bermobil, apakah dia orang kaya, dan pengaruh apa yang dimiliki.
Ditambah lagi, para mahasiswa, sarjana dan para intelektual ini juga mesti menghidupi dirinya, tentunya mereka akan sangat malu ketika lulus kuliah dan menjadi sarjana tak memiliki pekerjaan dan tak menghasilkan uang.
Pada akhirnya, cita-cita untuk melakukan perubahan dan gerakan-gerakan revolusioner di masyarakat, sungguh sulit atau bahkan tak bisa dilakukan, tak sanggup dan tak berdaya sama sekali. Belum lagi tuntutan-tuntutan pribadi dan keluarga.
Jangankan melakukan gerakan progresif dan revolusioner, masuk ke tengah masyarakatnya sendiri saja tak bisa, malah merasa teralienasi, terasingkan dan terpisah.
Sebab pertama yang menjadikan fenomena tersebut adalah tercerai berainya kaum progresif revolusioner, mereka terpencar satu sama lain. Tentu saja mereka takkan sanggup menghadapi monster raksasa kapitalis sendirian.
Modal utama bagi kaum progresif revolusioner adalah persatuan, usaha kolektif kolegial dan wadah-wadah komunitas. Tanpa gerak bersama, menghadapi hegemoni kapitalis sangatlah sulit, atau bahkan mustahil. Pada akhirnya, cita-cita untuk bisa melakukan gerakan progresif dan revolusioner hanya khayalan semata.
Ditulis oleh Sanik Radu Fatih, alumni UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, aktifis sosial, menekuni filsafat dan post modernisme.