Tatanan Negara Baru -->

Tatanan Negara Baru

Iman Musa
Rabu, 14 Oktober 2020



Perjalanan peradaban manusia dalam menapaki berbagai persoalan masih terus berlangsung sampai saat ini. Negara sebagai entitas politik yang tentu melekat dalam perjalanan dan perkembangannya secara historis telah melewati berbagai uji coba dengan bentuk dan sistem yang berbeda-beda. Meskipun telah melalui proses tersebut, umat manusia masih belum menemukan bentuk dan sistem kenegaraan yang optimal dapat secara akurat (setidak-tidaknya dominan) memberikan kesejahteraan dan menekan perilaku menyimpang para pejabat/pemangku kebijakan. Berangkat dari kegelisahan tersebut, dewasa ini banyak kelompok muslim yang giat mempropagandakan sebuah tatanan negara yang di sebut "Khilafah". Penulis berharap umat Islam tidak asing dan bersikap kontra dengan istilah itu karena khilafah adalah keniscayaan yang di sabdakan oleh Nabi Muhammad Saw kepada kita sebagai umatnya, 

"Ditengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zalim, ia juga akan ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian" (HR. Ahmad dalam Musnadnya No. 18430).

Bukan tanpa kesadaran atau pengkajian, kelompok-kelompok yang sedang dan berusaha menyuarakan serta membangkitkan kembali kesadaran umat untuk menegakkan khilafah adalah hasil dari kesimpulan kajian mereka bahwa sistem kenegaraan yang kini di terapkan telah gagal mengurusi persoalan umat. Bahkan pada titik paling ekstrem ada kelompok yang menyatakan haram terhadap sistem kenegaraan yang tidak bersumber dari doktrin pemahaman Islam. Lantas apakah khilafah adalah sistem kenegaraan yang kolot dan fundamental (menolak ide-ide dari luar agama Islam) dengan kepemimpinan tunggal? Atau ada format baru khilafah di masa depan?

Pengertian Khilafah

Sebelum jauh membahas tentang khilafah, penulis jelaskan terlebih dahulu pengertian khilafah secara etimologi dan terminologi. Dikutip dari buku Fiqh Siyasah karya Suyuthi Pulungan, secara bahasa kata khilafah diturunkan dari kata khalafa yang berarti seseorang yang menggantikan orang lain sebagai gantinya. Seperti Musa berkata kepada saudaranya Harun, "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaum ku" (Q.S. Al-A'raf /7:142). Jadi secara bahasa khilafah yang diturunkan dari kata khalafa memiliki arti pengganti. Dalam konteks ini yang di ganti ialah posisi Nabi Muhammad Saw sebagai kepala negara/pemimpin umat dan menjaga keberlangsungan agama. Sedangkan secara terminologi, khilafah menurut Ibnu Khaldun memiliki arti tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syari'at. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi Rasulullah Saw dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan. Pengertian khilafah baik dari segi etimologi maupun terminologi menunjukkan bahwa istilah itu muncul dalam sejarah Islam sebagai sebutan bagi institusi politik untuk menggantikan fungsi kenabian dalam urusan agama dan urusan politik.

Menurut penulis selain penjelasan di atas, kita dapat memahami khilafah sebagai kesatuan umat Islam dunia yang terintegrasi (saling berhubungan) di berbagi aspek seperti politik, ekonomi, militer, teknologi, sosial dan budaya. Singkatnya Khilafah menghendaki terkoneksinya segala aspek dalam kehidupan umat Islam di dunia. Harus terkoneksi dengan efektif dan efisien, bebas tanpa penghalang karena umat Islam betapapun terpisah jauhnya, tetap bersaudara. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,

"Perumpamaan orang-orang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada satu anggota tubuh mengaduh kesakitan maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam" (HR. Bukhari dan Muslim).

Dikatakan jelas dalam hadis itu bahwa sebagai umat Islam, kita adalah satu tubuh. Oleh karenanya mengapa khilafah wajib untuk ditegakkan. Tidak lain agar akses memberikan pertolongan kepada saudara sesama muslim menjadi mudah. Pertolongan kesehatan, ekonomi dan militer untuk menghentikan invasi musuh-musuh Islam.  Selain itu, dikutip dari buku Jalan Tengah Demokrasi karya Tohir Bawazir ditemukan beberapa alasan mengapa khilafah perlu berusaha di tegakkan karena, 1) khilafah adalah tuntutan akidah dan syariat. Kaum muslimin wajib menerapkan semua aturan Allah sebagai konsekuensi keislamannya. Bagaimana syariat Islam dapat tegak, kalau tidak ada penguasa yang menerapkannya? 2) khilafah akan menjaga keutuhan dan pertahanan negeri-negeri Islam. Ketiadaan khilafah membuat kaum muslimin seperti ayam kehilangan induknya, rumah kehilangan penjaganya. Akibatnya kekuasaan dan kekayaan negeri-negeri Islam banyak di eksploitasi oleh dunia barat. 3) Khilafah Islam akan menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil alamin, penyebaran ide-ide dan nilai-nilai di luar Islam seperti sekularisme, kapitalisme, libelarisme telah menghancurkan umat manusia. Namun nilai-nilai yang berasal dari Allah sudah tentu lebih unggul dan menyelamatkan semua manusia. Sebab telah terbukti dalam sejarah bahwa peradaban Islam telah memberikan andil sumbangan yang luar biasa bagi dunia baik dari nilai-nilai ideologis maupun kemajuan material lainnya.

Khilafah tidak bisa dipahami secara parsial karena sifatnya menyeluruh (universal). Tidak bisa di katakan "tegakan khilafah di Indonesia" karena sifatnya hanya terbatas pada wilayah Indonesia dan umat Islam tidak hanya ada di Indonesia. Kalaupun negara Indonesia menerapkan hukum berdasar Al Qur'an, Sunnah, Ijma dan Qiyas belum bisa di sebut sebagai Khilafah. Karena khilafah jauh melampaui batas-batas konsep negara-bangsa yang saat ini diterapkan. Khilafah adalah sistem universal yang menyatukan seluruh umat Islam dunia dalam naungan kepemimpinan umum. Lantas apabila khilafah berhasil di tegakan, masihkah Indonesia ada? Indonesia akan selalu ada begitu pun negara lainnya. karena menurut penulis, khilafah di masa depan akan berbeda bentuk dan sistemnya dengan khilafah yang pernah di terapkan di masa lampau yang selalu menempatkan satu posisi kepemimpinan tunggal kepada seseorang sebagai kepala pemerintahan/negara. Penulis meyakini bahwa umat Islam akan menerapkan kembali kepemimpinan tunggal hanya ketika kemunculan Imam Mahdi.

Dikutip dari mediaumat.news seperti dalam kajian berbahasa arab yang disebarkan oleh islamweb.net Syaikh Abu al-Asybal Hasan al-Zuhairi dalam kajian Syarh Shahîh Muslim, yang menjawab pertanyaan: “Apakah kekhilafahan di atas manhaj kenabian akan muncul pada era kekhilafahan Imam Mahdi atau sebelumnya?” Abu al-Asybal menjawab, bahwa yang rajih, bumi akan dilingkupi oleh kekhilafahan sebelum era Imam al-Mahdi dan turunnya Nabi Isa a.s.

 Khilafah Di Masa Depan

Kita semua tidak dapat menyangkal dan menolak akan terwujudnya tatanan negara baru di masa depan. Sebuah sistem universal yang mempersatukan seluruh umat Islam internasional dalam satu naungan.

Khilafah dengan kepemimpinan tunggal pada satu orang mustahil terwujud kecuali ketika Imam Mahdi yang menjadi pemimpinnya. Kompleksitas yang terjadi saat ini di antara umat Islam menjadi bahan pertimbangan bahwa penyatuan yang di paksakan dengan menempatkan satu posisi kepemimpinan kepada seseorang dalam sistem khilafah, sulit diterapkan. Akibat yang sudah terjadi karena perjalanan sejarah, umat Islam kini terpisahkan berdasar konsep negara-bangsa yang sempit. Padahal hakikatnya, konsep negara-bangsa dalam Islam tidak terbatas oleh letak geografis, warna kulit, etnis maupun budaya melainkan berdasar akidah. Selama seseorang itu berakidah Islam maka dia adalah bangsa Islam dan wilayah yang dipijaknya adalah tanah air kita, serta wajib bagi muslim lainnya memberikan pembelaan dan pertolongan. Dengan realitas yang terjadi saat ini, kita perlu untuk sadar bahwa pada akhirnya banyak kelompok kepentingan. Sehingga kita mesti mencari solusi jalan tengah bagaimana cara mempersatukan seluruh umat Islam tanpa terkecuali.

Dikutip dari buku Fiqh Siyasah karya Zakaria Syafe'i, mengingat tidak adanya nash yang menegaskan tentang harus ada satu negara Islam, maka dibolehkan berdirinya beberapa negara Islam dimana Allah telah mengetahui kebutuhan zaman dan tabiat hukum sosial yang menghendaki berdirinya negara Islam. Kemaujudan dari kompleksitas pengelompokan-pengelompokan kultural dan nasional di dalam umat Islam harus diakui dan dimanfaatkan untuk membentuk entitas yang lebih besar. Sekalipun dibolehkan berdirinya beberapa negara Islam, tetapi mereka harus merupakan satu umat yang saling bergantung satu sama lainnya. Negara Islam boleh berdiri banyak, hanya saja antara negara-negara Islam yang banyak itu haruslah di jalin satu hubungan ketat yang berlandaskan atas dasar Ukhuwah Islamiyyah, sehingga walaupun pada lahirnya tampak negara Islam banyak, namun pada hakikatnya adalah satu. Dari penjelasan itu kita dapat mengambil pertimbangan bagaimana membentuk lembaga kesatuan islam internasional yang mengakomodir seluruh lapisan umat yang heterogen.

Menurut penulis, khilafah di masa depan mungkin terwujud apabila sistemnya berbentuk perserikatan negara atau organisasi internasional yang tidak bersifat kenegaraan. Seperti dikutip dari buku Fiqh Siyasah karya Zakaria Syafe'i, Dhiyauddin Ar-Rais mengemukakan, kaum muslimin mesti memiliki suatu lembaga umum yang memiliki sifat kepemimpinan yang dapat mencerminkan aspirasi seluruh umat islam dan sekaligus menjadi aturan negara yang kepemimpinannya bersifat kooperatif, keputusannya diambil secara musyawarah yang melibatkan semua negara dan bangsa islam, dan keputusan memiliki kekuatan untuk ditaati, oleh negara dan bangsa islam. Lembaga inilah yang memlihara kemaslahatan bersama, menggariskan kebijaksanaan untuk hubungan bangsa-bangsa islam dengan bangsa non islam. Sedangkan politik dalam negerinya hendaknya selaras dengan prinsip-prinsip dan ide-ide yang diberikan oleh islam, lalu berupaya menyelesaikan semua kesulitan dan perbedaan pendapat, jika hal itu terjadi. Selain itu, ia harus mampu menjamin lancarnya hubungan antar negara dan bangsa islam di atas prinsip kerjasama dan persaudaraan. Singkatnya, lembaga gabungan inilah yang memegang kendali pimpinan untuk merealisasikan tujuan yang dimaksudkan oleh kekhalifahan. Namun persoalan-persoalan yang bersifat umum dan masalah-masalah daerah diserahkan kepada negara-negara anggota yang telah diakui eksistensinya. Inilah bentuk kekhalifahan modern yang tidak terpusat pada satu tangan, tetapi berada dalam suatu sistem persatuan, demokrasi bercorak musyawarah dan persekutuan. Berdasarkan analisis yang sudah penulis jelaskan di atas, langkah ini menjadi solusi alternatif untuk mempersatukan umat. Karena bentuk penyatuan dengan sistem perserikatan memungkinkan negara-negara yang termasuk dalam keanggotaan leluasa mengatur dan mengelola urusan negerinya masing-masing. Namun dengan tetap terintegrasi erat satu sama lain.

Saat ini upaya untuk mewujudkan organisasi internasional negara-negara Islam yang terintegrasi satu sama lain dapat terealisasi secara maksimal dengan mengoptimalkan keberadaan OIC (Organitation Of Islam Cooperation) yang sudah terbentuk di Rabat, Maroko sejak 25 September 1969. Organisasi antar negara Islam/mayoritas Islam yang bermarkas di Jeddah, Arab Saudi ini seharusnya di manfaatkan oleh setiap kepala negara yang tergabung di dalamnya untuk meningkatkan kerja sama yang selama ini di jalin. Selain hubungan politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi OIC harus bertransformasi lebih dari sebelumnya dengan menyepakati kerja sama militer. Sebuah hubungan pertahanan bersama. Upaya ini dilakukan tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan kepada negara anggota yang pada hakikatnya adalah saudara sebagaimana hadist Rasulullah Saw di atas bahwa kita sebagai umat Islam adalah bagaikan satu tubuh.

Adapun lembaga internasional seperti UN yang di dirikan pada 24 Oktober 1945 yang bersifat perserikatan negara-negara dengan tujuan mewujudkan perdamaian pada realitanya tidak pernah berhasil. Sebab persatuan lembaga bukan didasari oleh nilai-nilai islam. UN cenderung hanya menjadi alat penindasan negara-negara non islam kepada bangsa islam. Hak veto milik Amerika, Britania Raya, Prancis, Rusia dan Tiongkok menjadi ruang sumber ketidakadilan. Hak veto itu secara legalitas dapat kita temukan pada pasal 27 paragraf 3 piagam UN bahwasannya “Keputusan Dewan Keamanan tentang semua hal lainnya harus dibuat dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara bersama dari anggota tetap; dengan ketentuan bahwa, dalam keputusan berdasarkan Bab VI, dan berdasarkan paragraf 3 pasal 52, salah satu pihak yang bersengketa harus abstain dari pemungutan suara” anggota tetap itulah pemilik hak veto, tanpa suara bersama dari mereka maka keputusan dewan keamanan batal dan tidak dapat di jalankan.

Selain hak veto dalam United Nations, tidak dapat kita menafikan bahwa pakta pertahanan atlantik utara atau NATO (North Atlantic Treaty  Organization) yang di dirikan pada 4 April 1949 adalah persekutuan militer. Organisasi Internasional ini sepakat apabila ada negara anggotanya di serang maka mereka akan membantu mempertahankan karena serangan terhadap salah satu anggota akan di nyatakan sebagai serangan terhadap seluruh anggota. Berdasarkan persetujuan mereka pada pasal V bahwasannya;

Para anggota setuju bahwa sebuah serangan bersenjata terhadap salah satu atau lebih dari mereka di eropa maupun di amerika utara akan di anggap sebagai serangan terhadap semua anggota. Selanjutnya mereka setuju bahwa, jika serangan seperti itu terjadi, setiap anggota, dalam menggunakan hak untuk mempertahankan diri secara pribadi maupun bersama-sama seperti yang tertuang dalam pasal ke-51 dari piagam PBB, akan membantu anggota yang diserang jika penggunaan semacam itu, baik sendiri maupun bersama-sama, dirasakan perlu, termasuk penggunaan pasukan bersenjata, untuk mengembalikan dan menjaga keamanan wilayah Atlantik Utara.

Berdasarkan fakta yang diketahui bersama mengenai realitas yang ada maka upaya untuk mengoptimalkan OIC (Organization Of Islam Cooperation) adalah langkah yang utama bagi para pemimpin negeri islam/mayoritas islam untuk mempersatukan umat. Membangun kesadaran individu dan kolektif terhadapnya bahwa saat ini kita sedang berada dalam jebakan dan penindasan. Bangkit dari kelemahan akibat sistem yang menghambat.

Oleh : Iman

Referensi

Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 1999

Zakaria Syafe’i, Fiqh Siyasah: Negara Dalam Perspektif Islam, Hartomo Media Pustaka, Jakarta: 2012

Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: 2015

www.wikipedia.org

www.un.org

www.oic-oci.org

www.mediaumat.news