Mereka Yang Diperingati 1 Mei -->

Mereka Yang Diperingati 1 Mei

Iman Musa
Rabu, 30 April 2025

(Sumber: Pixabay - Jumbo457: https://pixabay.com/users/jimbo457-27590699/)


Setiap kali kita menginjak tanggal 1 Mei, kita diajak untuk mengingat tentang sekelompok manusia yang memiliki peran penting pada hajat hidup orang banyak. Manusia-manusia tersebut adalah mereka yang membangun jalan yang kita lalui untuk mengejar dunia, mengolah makanan enak yang kita makan bersama keluarga, menjahit pakaian yang kita pakai ke tempat pesta, membuat sepatu yang kita gunakan untuk fun run hanya demi konten di sosial media.


Mereka adalah manusia-manusia dibalik kenyamanan yang kita nikmati, yang rela menukar waktu, tenaga, bahkan kesehatannya agar roda kehidupan terus berputar. Mereka, dalam Islam, pada hakikatnya adalah amanah yang Allah titipkan pada kita sebagai umat Islam untuk dibela dan dimuliakan. Namun, apakah nasib mereka telah dimasukkan ke dalam agenda besar umat Islam hari ini? Ada dimana posisi mereka sebetulnya dalam hati umat ini?


Kita tahu bahwa, Nabi Muhammad SAW tidak hanya diutus oleh Allah SWT untuk membawa perintah shalat dan puasa saja. Rasulullah diutus ke dunia untuk membawa cahaya Islam yang menembus ke seluruh lapisan kehidupan, termasuk dalam urusan keadilan untuk manusia-manusia yang diamanahkan kepada umat ini, agar tidak ada penguasa yang berlaku dzalim pada mereka, agar tidak ada pemilik modal yang menganggap mereka sebagai objek semata, agar tidak ada tuan-tuan tanah yang mengganggu waktu-waktu mereka dalam ibadah, agar hak-hak mereka ditunaikan dengan adil oleh para pengusaha yang dagangannya diproduksi oleh mereka.


Kepada mereka, Rasulullah memberikan pembelaan yang serius. Hal ini diungkapkan Nabi dari Abu Hurairah dalam hadits ketika Nabi berkhutbah di Madinah sebelum Nabi wafat. Salah satu pesan Nabi saat itu adalah bahwa siapapun yang berlaku dzalim terhadap upah mereka, maka haram baginya bau surga. Pada hadist lainnya, Nabi berpesan agar dalam memberikan upah, berikanlah sebelum keringat mereka kering, yang berarti agar tidak ditunda-tunda untuk membayar upah jika sudah waktunya.


Rasulullah mengajarkan kita untuk memuliakan mereka bukan karena belas kasihan, tetapi karena sebuah prinsip bahwa setiap mereka memiliki harkat dan martabat yang sama dengan kita sebagai seorang manusia. Bahwa ada kehormatan yang harus dijaga. Mereka adalah kaum buruh yang yang dengan tenaganya mereka gunakan untuk mencari nafkah demi keluarganya.


Dalam konteks perjalanan sejarah bangsa Indonesia, perjuangan kaum buruh menjadi bagian tak terpisahkan dalam gerakan pembebasan dari aktivitas kolonialisme. Tersebutlah organisasi masa bernama Sarekat Islam (SI), salah satu organisasi yang terdepan pembelaannya pada mereka yang lemah dan tertindas oleh sistem kolonial. Bahwa membela mereka yang lemah, bagi Sarekat Islam, adalah bukan hanya sekedar agenda politik organisasi, tetapi telah dianggap menjadi bagian dari misi islam itu sendiri.


SI yang disahkan badan hukumnya tahun 1912, pada mulanya bernama SDI (Sarekat Dagang Islam) yang didirikan tahun 1905. Eksistensi SI pada masa itu memiliki kaitan yang cukup kuat, bukan hanya soal perjuangan buruh, tetapi juga persoalan sosial, ekonomi dan politik yang ada di negeri ini pada masa itu. Hal inilah yang menggerakkan ratusan ribu petani dan buruh di Jawa akhirnya mendukung mereka, hanya dalam beberapa tahun setelah berdirinya SI.


Tidak hanya berkembang di Jawa, SI juga memiliki pengaruh di Sumatera, khususnya di wilayah Deli. Di Deli, SI berperan penting dalam memperjuangkan nasib buruh perkebunan yang seringkali diperlakukan tidak manusiawi. Selanjutnya persoalan upah yang tidak layak dan praktik calo juga turut memperparah nasib buruh di sana. SI di Deli berfokus pada isu-isu sosial dan ekonomi di wilayah tersebut untuk memperbaiki kondisi kerja dan kehidupan buruh, sebagai respons terhadap eksploitasi yang terjadi.


Kisah tragis buruh lainnya di masa itu ialah nasib buruh kuli kontrak yang mengalami penderitaan. Kondisi ini disorot tajam oleh Haji Agus Salim tokoh penting SI yang kerap keluar masuk perkebunan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan untuk mengetahui dan melaporkan keadaan buruh-buruh tersebut.


Kiprah Haji Agus Salim sebagai pegiat SI pada perjuangan kaum buruh memiliki peranan yang cukup penting. Atas perjuangannya tersebut, beliau diudang ke Belanda untuk bertemu dengan pergerakan buruh di sana. Ia juga bahkan diangkat sebagai penasehat penuh di konferensi buruh internasional (ILO) di Jenewa oleh Himpunan Serikat Buruh Belanda (Nederlands Verbond van Vakverenigingen).


Di Jenewa, Haji Agus Salim memberikan pidatonya mengenai kondisi para buruh di tanah jajahan Hindia Belanda. Pidatonya ini telah membuka mata banyak negara lain seperti Amerika Serikat (AS) yang kemudian meninjau kembali politik perdagangan mereka dengan Belanda. AS kemudian tidak mau lagi membeli hasil perkebunan dari Hindia Belanda karena prakteknya yang kejam. Salah satu tekanan inilah yang mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah politik kolonialismenya dengan menghapus peraturan kerja paksa poenale sanctie yaitu suatu peraturan yang memuat ancaman hukuman terhadap para buruh atau kuli pada tahun 1930.


Selanjutnya mari kita tengok nasib buruh yang terjadi dewasa ini. Bahwa nasib yang dialami buruh saat ini masih cukup memprihatinkan. Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menjadi keluhan kalangan buruh. Sejak pandemi hingga saat ini, gelombang PHK masih terus terjadi.


Terdapat lebih dari 18 ribu tenaga kerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang dua bulan pertama tahun 2025. Provinsi Jawa Tengah menjadi wilayah dengan jumlah PHK tertinggi pada periode Januari-Februari 2025 yaitu sekitar 57,37 persen. Ada sebanyak 10.677 tenaga kerja menjadi korban PHK di Jawa Tengah. Hal ini sejalan dengan informasi beberapa waktu lalu yang menjadi sorotan publik terkait PHK besar-besaran yang dilakukan perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex). Bahwa perusahaan yang berkantor pusat di Sukoharjo, Jawa Tengah tersebut telah memutus hubungan kerja lebih dari 10 ribu pekerjanya akibat putusan pailit.


Kasus PHK berikutnya terjadi di Riau sebanyak 3.530 orang ter-PHK per Februari 2025. Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebanyak 2.650 tenaga kerja juga kehilangan pekerjaannya. Di Jawa Timur 978 pekerja mengalami PHK, di Banten sejumlah 411 orang, di Bali sebanyak 87 orang, Sulawesi Selatan sejumlah 77 pekerja, dan Kalimantan Tengah 72 tenaga kerja. Lalu di Jawa Barat, ada 23 pekerja yang terkena PHK.

 

Selain PHK, persoalan terkait buruh lainnya ialah praktik penipuan yang dilakukan oleh calo tenaga kerja, misalnya di Kabupaten Serang. Bahwa sejak 2023, terdapat puluhan pencari kerja yang menjadi korban penipuan calo tenaga kerja yang menjanjikan pekerjaan dengan syarat membayar uang administrasi, namun pekerjaan yang dijanjikan tersebut tidak pernah ada. Sindikat penipuan ini sedikinya menipu 60 orang dengan total kerugian mencapai Rp 300 juta. Kasus ini menyoroti betapa rentannya masyarakat kecil dalam proses mencari nafkah dan pentingnya perlindungan sejak dari tahap rekrutmen kerja.


Persoalan yang terus menghantui kaum buruh juga ialah terkait dengan upah layak. Sebuah riset yang dilakukan oleh Komite Hidup Layak yang melibatkan 257 buruh dari enam sektor industri di Indonesia mengungkap bahwa 93% responden menyatakan upah bulanan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup, dengan rata-rata pendapatan sekitar Rp3,4 juta per bulan, sementara kebutuhan dasar mencapai Rp4–5 juta. Akibatnya, 76% dari mereka terpaksa berutang, terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan anak, alat kerja, serta pengeluaran sosial dan kesehatan. Fenomena ini mencerminkan bagaimana upah rendah memaksa buruh masuk ke dalam jeratan utang, sering kali melalui pinjaman dari rentenir modern atau aplikasi pinjaman online, demi bertahan hidup. Situasi ini menyoroti pentingnya peninjauan ulang kebijakan upah minimum dan perlindungan terhadap buruh agar mereka tidak terus-menerus terjebak dalam siklus utang yang merugikan.


Persoalan buruh dalam pendekatan keumatan, sejatinya mesti menjadi salah satu agenda umat Islam yang tak boleh diabaikan. Kendati kompleksitasnya persoalan umat saat ini, perjuangan kaum buruh memiliki titik temu yang cukup kuat secara ideologis maupun historis.


Jangan sampai umat ini hanya disibukkan dengan simbol dan identitas, atau hanya peduli pada ritual ibadah saja, bahkan menganggap perjuangan terhadap hak-hak buruh tak dianggap sebagai ibadah. Padahal, Islam yang kita fahami, tidak pernah memisahkan antara ibadah dan pembelaan sosial. Sebab membela mereka yang hak-haknya dirampas oleh para kapitalis juga adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar.


Sebab kaum buruh adalah orang-orang yang berusaha untuk memenuhi nafkah keluarganya dengan sekuat tenaga. Mereka adalah orang tua yang dari keringatnya dapat membiayai pendidikan anak-anaknya. Mereka adalah saudara kita, mereka adalah kita, mereka adalah para Buruh yang tak lelah berjuang menggerakkan roda kehidupan. 


Penulis : Imam Maulana, S.Sos

Direktur Socialedu Center