YOUTHINDONESIAN - Beberapa pekan lalu, media sosial dihebohkan oleh mencuatnya kasus pendirian rumah ibadah di Kota Cilegon, salah satu kota yang masuk, bahkan menjadi daftar nomor satu sebagai kota yang paling rendah toleransinya menurut laporan artikel yang dikeluarkan oleh salah satu media.
Di Indonesia, permasalahan SARA masih amat sangat sensitif, kejadian A di suatu wilayah, bisa menimbulkan rangkaian dampak di wilayah yang lain, karena, mereka digerakan oleh satu nilai yang sama, yaitu agama. Oleh sebab itu, jangan gegabah dan musti hati-hati dalam menangani hal ini.
Terkait hal ini, viral diberitakan jika wali kota Cilegon ikut menandatangani kesepakatan untuk menolak berdirinya salah satu rumah ibadah dari salah satu keyakinan yang ada di Indonesia, yaitu menolak berdirinya Gereja yang merupakan rumah ibadah bagi pemeluk Nasrani.
Baca juga : Untuk Siapakah Kemajuan Teknologi Disediakan?
Tapi, jika kita mau melihat ini dengan jernih dan jelas, sebenernya, pangkal utama dari pada ini semua adalah ego kelompok masing-masing, baik dari pihak yang menolak maupun yang memperjuangkan, semua bersembunyi di balik nama Tuhan.
Kenapa bisa dikatakan ego, karena satu kelompok di sisi lain, yaitu umat Nasrani ingin memunculkan eksistensinya sebagai sebuah kelompok atau entitas agama di Kota Cilegon. Sedangkan, kelompok Islam di sisi lain, khususnya yang berpaham konservatif, merasa eksistensinya akan tergusur atau tersaingi. Mereka tidak ingin daya tawar mereka turun atau berkurang akibat munculnya atau eksisnya kelompok keyakinan lain di wilayahnya, yaitu Kota Cilegon.
Padahal, jika seandainya Yesus dan Nabi Muhammad masih hidup, mungkin mereka akan berkata "Tuhan tak perlu rumah ibadah yang megah untuk kalian menyembah, Tuhan tak butuh rumah ibadah untuk disembah. Jika hati kalian dipenuhi ego dan kebencian yang bisa menumpahkan darah satu sama lain, maka ratakan, hancurkan lah semua rumah ibadah kalian, ratakan dengan tanah. Aku tidak perlu rumah ibadah untuk disembah. Rumah ibadah yang sesungguhnya ada di dalam hati kalian masing-masing, bersihkanlah terlebih dahulu rumah ibadah di hati kalian sebelum kalian membangun rumah ibadah yang hanya tersusun dari tumpukan batu dan kemegahan. Baik Muslim maupun Nasrani atau keyakinan apapun, kemegahan rumah ibadah, atau didirikannya rumah ibadah tak akan mengubah sedikitpun hati Tuhan jika seandainya di hati kita masih diliputi kebencian, ego ingin menang sendiri, saling bertengkar, ribut dan menumbuhkan dendam".
Justru, hal itu adalah yang paling didambakan iblis dan setan, yaitu pertengkaran, permusuhan, kebencian, amarah dan ego. Iblis dan setan sangat bangga dan tertawa-tawa melihat tingkah anak cucu Adam, umat manusia saling bertengkar, saling curiga, saling memfitnah, saling merusak, saling membunuh dan saling menghancurkan satu sama lain.
Padahal, citra Tuhan dan yang diinginkan adalah kedamaian, cinta kasih, kepedulian, gotong royong, saling pengertian, saling memahami, saling menghormati, itulah sesungguhnya surga yang nyata di dunia.
Untuk saat ini, coba untuk menahan ego masing-masing. Tak ada masalah bagi siapapun yang ingin mendirikan rumah ibadah, tapi coba dilihat dulu bagaimana kondisi, sosial, sejarah, budaya dan lain sebagainya di kondisi tersebut.
Sekali pun sahabat dan saudara-saudaraku dari Nasrani atau dari keyakinan lain misalnya berhasil mendirikan Gereja atau rumah ibadah dengan kondisi yang memaksa, dengan kondisi satu sama lain masih diliputi kecurigaan dan ego. Jangan harap rumah ibadah akan mendatangkan kedamaian dan ketentraman, yang ada justru bisa jadi malah sebaliknya, bisa terjadi teror, mungkin ledakan bom, kekisruhan sosial dan lain sebagainya. Jangan sampai memicu terjadinya perang Salib lokal di Cilegon, seperti yang pernah terjadi di Poso, semua merasa paling benar, berteriak membawa nama Tuhan, yang satu mengaku prajurit suci utusan Tuhan, yang satu mengaku tentara Allah pelindung Iman Islam.
Di sana teriak takbir Allahu Akbar, di ujung sana berteriak deus le volt Kemenangan Tuhan.
Kenapa bisa dikatakan berpotensi munculnya perang Salib lokal, tentu kita harus melihat bagaimana kultur, sejarah dan budaya masyarakat Cilegon itu sendiri. Coba tengok sejak zaman Hindia-Belanda, hanya sebab permasalahan menara masjid dirobohkan saja oleh pemerintah Hindia-Belanda, bisa memicu konflik sektarian berbau agama dan kehancuran yang merugikan banyak pihak.
Berbicara SARA, khususnya agama, masih sangat sensitif di Cilegon, apalagi dengan munculnya pelabelan Kota Cilegon sebagai kota paling tidak toleran, atau intoleransi, maka masyarakat atau golongan yang merasa terintimidasi dengan pelabelan itu, akan semakin memberontak dan memunculkan permusuhan yang makin kuat dan besar. Karena, mereka akan mengira bahwa itu semua adalah rencana dari golongan sebelah (dalam hal ini adalah saudara dari Nasrani).
Mereka akan menganggap bahwa semua itu adalah manuver dan taktik licik yang digunakan oleh kelompok Nasrani untuk menekan kelompok yang sudah lebih dulu eksis (dalam hal ini kelompok Islam di Cilegon).
Lalu, apa yang semestinya dilakukan, kita mesti membangun kerja-kerja kebudayan, bangun komunikasi yang baik antar sesama, membuka diri untuk saling mengenal baik, tumbuhkan simpul-simpul seperti jaringan gusdurian di berbagai sudut kota Cilegon atau pun gerakan yang sejenis, ini memang bukan kerja mudah dan membutuhkan waktu yang panjang, tapi yakinlah, bangunan sosial yang dibangun atas dasar kepercayaan, cinta kasih dan saling menghormati, akan berdiri lebih lama dibandingkan bangunan rumah ibadah yang dibangun atas nama ego dan saling curiga.
Kita tumbuhkan itu di Cilegon, ketika minimal sudah 70% para generasi muda yang terdidik dan terbangun mindset untuk saling menghargai, kehidupan yang saling gotong royong dan peduli. Bukan lagi penolakan rumah ibadah, tapi dengan senang hati, mereka akan ikut membantu mendirikan rumah ibadah saudaranya.
"Mari saudaraku, apa kiranya yang engkau perlukan, apa yang bisa aku bantu untukmu"
Baca juga : Bonus Demografi Indonesia, Berkah atau Bencana? Ini Dia Faktanya, Tahun 2045 Indonesia Bisa Hancur
Ketika cinta kasih dan kepercayaan telah muncul di hati setiap orang, jangankan masalah rumah ibadah, hal remeh temeh pun seperti membantu membersihkan got atau genting tetangga yang beda iman pun bukan lagi hal yang aneh. Semuanya saling kerjasama dan gotong royong.
Untuk saat ini, jika pun dipaksakan di Cilegon, mungkin bisa saja, tapi itu sama saja seperti membangun rumah di atas sekam yang sedang membara dari dalam, yang jika tidak diatasi, dalam jangka waktu tertentu, ia bisa berkobar dan membakar semuanya.
Semuanya butuh kesabaran dan waktu, begitu pun dengan cinta kasih, kepercayaan, rasa saling menghargai dan menghormati, semuanya butuh proses. Tumbuhkan itu di setiap hati manusia, tumbuhkan di setiap sudut kota yang ada di negeri ini. Bangunlah simpul dan jaringan kemanusiaan, bangunlah cinta kasih dan kepedulian.
Tentu saja kita tak ingin terjadi perang Salib lokal, kita tidak ingin terjadi kerusakan dan kebencian yang bersembunyi di balik dada masing-masing golongan, jangan merusak masa depan anak-anak dan generasi penerus selanjutnya, jangan menaburkan kebencian dan ego ke dalam hati anak-anak kita.
Kedamaian dan rasa aman adalah hal yang paling mahal di dunia ini. Jadi, bersabar dan teruslah bekerja membangun jejaring kebudayaan dan kemanusiaan yang tanpa pamrih, membuat tatanan masyarakat baru yang lebih terbuka dan penuh cinta kasih serta rasa saling menghormati dan menghargai satu sama lain.(@sanik_rdfth)***