Sedingin Es dan Seputih Salju
Karya: Ina Herlina
Diam
tanpa kata dan membisu bagai batu. Kata itulah yang pantas untuk melukiskan
buruknya watak dan tabiatku. Suatu kebiasaan buruk yang akupun tak tau pasti
dari mana dan dari siapa aku
mewarisinya. Suatu perangai buruk yang amat sangat aku benci, namun kerap kali
tak dapat aku hindari. Hal itu bukan karena aku adalah tipe wanita yang degil
dan keras kepala. Semua itu karena
ketidakmampuanku untuk memendam rasa dan menyeimbangkan antara suasana
hati dan realita. Namun apalah dayaku untuk berbuat sesuatu dan menepis asa
yang kadang tak menentu?. Aku merasa ada yang menguasai hati dan pikiranku kala
itu. Walaupun kadang akal sehatku memberontak, namun alam bawah sadarku terus
berusaha membawaku semakin terlena dalam suasana yang sedingin es itu.
Sungguh
sulit memang, ketika kita dihadapkan dengan suatu permasalahan yang tak dapat
kita selesaikan. Walaupun pepatah mengatakan bahwa “setiap permasalahan pasti
ada jalan keluarnya”, namun aku tak begitu yakin dengan permasalahan yang kian
kali datang mengahampiri dan membelenggu hati dan fikiranku. Aku merasa, bagiku musuh dan permasalahan
terbesarku ialah berasal dari diriku sendiri.
Aku
adalah tipe wanita yang yang cenderung memendam rasa dan akan diam dengan sendirinya
ketika akal dan suasana hati tak sejalan dengan fakta. Ketika aku merasa kecewa
akan sesuatu, aku akan diam membisu. Begitu pula ketika aku marah, aku justru
memilih diam seribu bahasa. Bahkan ketika rasa tidak nyaman menghampiri, akupun
akan melakukan hal yang sama.
Awalnya
Aku fikir itu adalah jalan pintas dan alternative terbaik jika dibandingkan
dengan mengumbar amarah dan kata-kata kasar yang tidak bermakna. Namun
ternyata, aku salah menduga. Diam bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan
masalah. Hal itu justru akan memperkeruh suasana dan melukai hati orang-orang
yang kucinta, Terutama Zaky.
Zaky
adalah sosok pria yang mampu membuat hatiku meleleh bak lilin yang terbakar
cahaya api. Dia mampu membuatku jatuh cinta dan rela melakukan apapun yang
kubisa demi kebahagiaannya. Bahkan aku lebih mencintai dan menyayanginya lebih
dari diriku sendiri. Namun, aku kerap kali membuatnya terluka dan
memporak-porandakan singgasana kedamaian hatinya dengan sikap diamku byang tak bisa kubendung
itu.
Hari
itu, bukanlah kali pertama aku dan Zaky bersiteru karena hal dan permasalahan
yang sama.Tak lain dan tiada bukan yaitu karena sikap diamku.
“Kamu
kenapa, Sofia?”. Tanya Zaky dengan raut wajah yang terlihat aneh.
“Aku
tidak apa-apa, Zaky”. Jawabku spontan.
“Dengar
Sofia, aku tidak akan bertanya seperti itu jika memang tidak ada apa-apa denganmu”. Zaky makin penasaran dan mulai
kesal terhadapku.
“Aku
sungguh tak apa-apa, Zaky. Kumohon percayalah padaku!”. Serlahku.
“Aku
sudah lama mengenalmu, Sofia. Lagipula ini bukanlah kali pertama kita terjebak
dalam situasi yang seperti ini. Bahkan ekspresi dan raut mukamu pun tak mampu menutupi dan membohongiku. Bukankah
sering kukatakan padamu kalau aku sangat tidak suka dengan sikap diammu. Tapi
mengapa kau masih saja menunjukannya dan tidak menghiraukan kata-kataku itu?
Kumohon bicaralah padaku, Sofia!”. Zaky semakin berapi-api membujukku untuk
bicara.
“Berapa
kali juga aku harus mengatakan, kalau aku tidak apa-apa? Adapun dengan sikap
diamku, bukankah aku sering bilang padamu kalau itu adalah bagian dari
kekuranganku? Kenapa Zaky, kenapa kau masih saja tidak bisa menerima
kekuranganku?”. Tandasku dengan nada sayu.
“Aku
tahu itu merupakan bagian dari kekuranganmu, Sofia. Tapi bukankah kau sering
bilang, kalau kamu mau berusaha untuk merubahnya, Sofia”. Zaky memcoba untuk
mendapatkan alasanku.
“Kau
tak tau, Zaky. Betapa berat aku berusaha dan terus terbebani dengan sikap
diamku itu. Kadang aku berfikir untuk lelah berusaha dan pasrah saja dengan
tabiatku, karena pada akhirnya aku tetap saja terbuai dalam perangkapnya. Tapi
aku tidak akan semudah itu menyerah, Zaky. Aku akan berusaha sekuat dan
sebisaku. Namun jika pada akhirnya aku kalah dalam pertempuran dan tak mampu lagi berusaha, aku yakin bahwa
pasti ada sosok pria yang mampu menerimaku apa adanya dan menerima segala
kekuranganku, dan itu tak terkecuali denganmu, Zaky”. Jelasku.
“Bukannya
aku tak bisa terima kekuranganmu, Sofia. Hanya saja aku sangat yakin kalau kamu
pasti bisa mengontrol dan merubah sikap burukmu. Aku tak mau terima
kekuranganmu sebelum kamu mencoba berusaha untuk merubahnya menjadi lebih baik.
Percayalah padaku, Sofia. Kamu pasti bisa, semangat!!!.”. Zaky terus
meyakinkanku.
“Terima
kasih atas kepercayaanmu kepadaku, Zaky. Selama akal ini masih bisa berfikir
dan hati ini masih bisa merasa, aku akan mencobanya, Zaky”. Kubalas kepercayaan
Zaky dengan suatu asa yang pasti.
“Oh
iya, Sofia. Lantas apa yang harus aku lakukan jika kamu tengah dibelenggu virus
diammu itu, Sofia?”. Zaky sejurus bertanya padaku.
“Apa
ya???? Aku juga bingung, Zaky. Oh Ya, kamu juga boleh berbalik mendiamkanku
ketika aku tengah diam”. Aku coba mengeluarkan kebijakanku.
“Apakah
kamu yakin, Sofia? Aku yakin kamu juga akan merasa kesal jika seseorang tengah
mendiamkanmu. Jadi aku tidak mau berbalik mendiamkanmu, karena aku rasa itu
tidak akan menyelesaikan masalah”. Zaky seolah meragukan kebijakanku.
“Lantas,
opsi apa yang akan kau sarankan, Zaky?”. Aku balik bertanya.
“Gimana
kalau aku akan menggodamu dengan semangkuk bakso ketika kamu tengah dilanda
diam, Sofia?”. Tukas Zaky sembari menggodaku.
Aku
sungguh terkejut mendengar opsi dari
Zaky. Aku seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Tapi
di sisi lain aku merasa sangat senang. Anganku tiba-tiba melayang jauh,
membayangkan semangkuk bakso yang tengah asyik menggodaku seraya
melambai-lambaikan tangannya. Sememangnya bakso adalah makanan favoritku, dan
Zaky sangat tahu pasti kalau aku sangat menyukainya.
“Asyik...!!!!!
Kamu serius kan dengan opsi yang kau tawarkan itu, Zaky? Sorakku spontan.
“Iya,
Sofia. Aku sangat yakin dan serius. Gimana, kamu senang kan, Sofia?”. Tandas
Zaky.
“Aku
sangat dan teramat senang, Zaky. Makasih ya atas idemu yang brilian itu. Kamu
memang paling mengerti aku hehe”. Aku berbalik menggoda Zaky.
“Iya
dong, aku kan memang cowok idaman setiap wanita. Jadi kamu harus bersyukur bisa
dekat dan intim dengan pria keren sepertiku”. Zaky pun tak mau kalah dengan
candaanku.
Kala
itu kamipun tertawa riang bersama dan sejak saat itu, aku tak mampu lagi
berlama-laman terjebak dalam suasana hati yang membeku. Bagaimana tidak, jika
tanpa sadar aku tiba-tiba terdiam, maka Zaky akan sejurus menggodaku dengan
rayuan semangkuk baksonya itu dan tanpa membuang banyak masa, akupun langsung
tertawa geli meresponnya.