
Sore setelah waktu shalat magrib, Iman
bergegas memasukan berbagai barang ke dalam daypacknya. Jam setengah tujuh malam
ia hendak berangkat ke Merak menghadiri sebuah perkumpulan para avonturir
se-Banten. Di depan rumahnya, Anggara sudah menunggu bersama motor honda-win kesayangan,
memakai jaket kulit hitam dan levis gombrang, padahal hanya ingin mengantar ke
stasiun Maja. Sedangkan di dalam kamar Iman telah siap, menggendong daypack
juga memakai levis serupa yang di pakai temannya namun dengan pakaian atas
berupa kemeja bermotif kotak-kotak hitam. Pamit kepada emak di kamar yang
sedang duduk menyulam sarung bantal yang berlubang.
“Mak, Iman izin ke Merak dulu ya, ada acara
perkumpulan” sembari menyodorkan tangan hendak mencium punggung jari-jemari
emaknya.
“Dua hari kemarin baru aja pulang dari
Sawarna, terus sekarang mau pergi lagi?”
“Ini sebentar mak, hanya dua hari. Iman
bareng anggara mak” Ia coba merayu karena emaknya akan percaya dan mengizinkan
jika ia pergi dengan Anggara, padahal temannya itu hanya mengantar sampai
stasiun.
“Yasudah kalau begitu, pesan emak yang
penting hati-hati. Di setiap perjalanan, perbanyak teman terus ya”
“Baik Mak. Iman berangkat” Ia cium tangan
emaknya kemudian keluar segera pergi bersama anggara menuju Stasiun Maja.
Suasana dan pemandangan di sekitar stasiun
masih sejuk. Bangunan di kelilingi sawah yang sedang tumbuh menghijau. Jalan aspal
hitam menjadi karpet keras yang menghantarkan Anggara dan Iman menuju pemberangkatan.
Di Stasiun Maja, Bita sudah menunggu. Seorang teman wanita yang Iman kenal tiga
tahun sebelumnya di Cilegon ketika ia dan Anggara petualangan ke Pantai Anyar.
Bita juga seorang avonturir yang kebetulan memiliki tujuan yang searah dengan
Iman saat itu. Sehingga singkat cerita pada akhirnya mereka masuk kedalam
perkumpulan yang sama. Keberangkatan mereka tidak lain adalah untuk mewakili
para avonturir, Anggara tidak bisa ikut karena ada tugas kuliah yang harus
segera di selesaikan. Acara yang akan berlangsung dua hari, 3 sampai 4 Maret
1998 itu sekaligus merupakan petualangan terakhir Parangyati (Perkumpulan Avonturir
Serang Wilayah Timur).
Dari kejauhan terlihat di depan gerbang
stasiun, Bita sedang berdiri. Menunggu kedatangan Iman. Ia menoleh ke kiri dan kanan
setelah sekitar tiga puluh menit menunggu. Yang unik dari wanita itu ketika
bepergian jauh adalah karena ia selalu memakai Rona satu kantung yang ia mural dengan motif batik Banten sehingga terlihat estetik dan Daypacknya yang di tempeli boneka donald duck
kecil berwarna kuning di bagian lengan tas sebelah kanan yang kerap kali ia
ajak bicara di setiap perjalanan. Aneh, namun menurutnya hal itu dapat mencegah
kita dari situasi stres. Tapi bukankah mengajak boneka itu bicara adalah sebuah
tanda dari stres? Entah, mungkin Bita memiliki alasannya sendiri karena ia
adalah seorang mahasiswi jurusan Psikologi di UI.
Motor berhenti tepat di hadapan Bita. Iman
segera turun dari jok belakang, sembari memberikan salam kepalan tangan dengan
raut wajah meminta maaf. “Hey Bit. Sudah lama nunggu? Sorry ya, ban motor
Anggara bocor tadi, jadi harus ke bengkel dulu”
“Iya man gapapa. Ini tiket keretanya sudah
Bita belikan, sebaiknya kita segera masuk menunggu kereta di dalam karena kita
pesan tiket jam 19.00”
“Oke Bit”
Sebelum masuk ke stasiun, tidak lupa Iman
merangkul Anggara karena telah mengantarnya. “Makasih ya Ang. Hati-hati di
jalan pulang”
Keduanya sudah di dalam stasiun. Mengabaikan
kursi tunggu yang berjejer kosong. Memilih berdiri di samping rel sehingga
tepat ketika kereta tiba, mereka bisa mudah segera masuk gerbong. Berdampingan,
namun Iman selalu berada setengah langkah di belakang Bita, dengan badan yang
lebih tinggi ia berdiri seperti pengawal yang setia melindungi. Setelah
menunggu beberapa menit, tibalah kereta yang mereka tunggu. Pintu kereta
berhenti tepat di depan keduanya, Bita di silahkan masuk lebih dulu setelahnya
Iman mengikuti di belakang. Kereta melaju, perlahan meninggalkan untaian rel
yang telah di laluinya.
Di dalam gerbong kereta mereka berdua duduk
bersebelahan. Sedikit terhalang tas milik Bita sehingga membatasi keduanya
lebih dekat. Di hadapan mereka terlihat pemukiman dan pepohonan seakan
berlarian cepat meninggalkan gerbong kereta. Malam itu tidak banyak orang,
terhitung jari yang duduk di setiap bangku penumpang. Setelah dua tahun bersama
dalam perkumpulan –menghidupkan, mempertahankan dan menjaga serta merangkul keluarga
avonturir wilayah timur- melalui berbagai tantangan dan kesulitan yang menerpa,
keduanya saling berbagi kisah, keresahan dan kesadaran. Semakin malam waktu
berjalan, sinar bulan yang terang karena purnama menembus kaca jendela kereta,
menyinari keduanya, hanya mereka. Ketika itu, Iman tak peduli dengan panjangnya
rel yang akan mereka lalui juga tak sudi melewati setiap stasiun pemberhentian.
Ia hanya ingin selalu melaju, menghabiskan seluruh rel kereta yang membentang
di tanah jawa untuk terus bisa menghabiskan waktu dan tawa bersama Bita.
***
Setelah menempuh jarak selama dua jam lebih,
akhirnya mereka sampai di stasiun Merak. Perbincangan di bangku kereta
berakhir, pintu gerbong terbuka, mempersilahkan penumpang keluar. Iman dan Bita
beranjak dari duduknya, kembali mengalungkan lengan tas di pundak. Karena hanya
tersisa mereka berdua di gerbong kereta, keluar untuk turun jadi lebih leluasa.
Bita lebih dahulu dan Iman selalu setelahnya. Stasiun telah sepi, hanya tersisa
para pekerja KAI yang terlihat. Si penjaga kasir dan dua orang satpam.
Keluar dari gerbang stasiun, keduanya
berencana untuk berjalan kaki karena kondisi sudah malam, angkutan umum sulit
di temukan di jam itu. Sekalipun ada, harus menunggu lama. Lagi pula lokasi
acara bisa di tempuh dengan berjalan kaki dan bisa untuk menghemat uang juga.
"Man, kalau nunggu angkot bakal lama.
Kita jalan aja ya, biar hemat juga hehee ..." Bita memberi usul,
menengadahkan wajahnya kepada Iman di sebelah kanan, melempar senyum dan
berusaha membujuk dengan matanya yang sayu.
"Bita mau jalan satu kilometer ke Villa
itu?" Mengarahkan telunjuknya ke arah yang di tuju dengan nada bicara
tidak percaya.
"Kita kan sudah biasa Avonturir man,
jalan kaki mah udah sering" Bita agak kesal. Karena sudah menunggu
angkutan tak kunjung datang sedangkan Iman masih enggan untuk berjalan.
Mengetahui gelagat kesal itu, Iman segera
mengiyakan ajakannya sembari mencandai Bita agar kembali riang "Baiklah
Ibu Ratu. Aku akan antarkan engkau menuju kasur megah milik mu".
"Segera antarkan aku menuju kasur itu
agar segera tidur ku nyaman" Bita menimpali. Beraut wajah bak ratu
kerajaan.
Karena hobi bercanda, keduanya kerap
bertingkah lucu bahkan konyol. Akhirnya, Iman dan Bita berjalan kaki menuju
Villa tempat acara berlangsung. Saat itu jalanan aspal masih terawat, halus dan
hitam. Iman memegang senternya, mengarahkan ke depan untuk menerangi pandangan
mereka ketika melangkah karena lampu penerangan jalan belum ada. Satu-satunya
cahaya yang dapat membantu hanya lampu bohlam kuning yang terpasang di depan
setiap rumah warga, pun jarak rumahnya berjauhan. Namun ketika itu purnama
sedang terang, jalanan jadi agak mudah untuk di lihat. Suara gesekan sepatu
keduanya ke aspal saling bersahutan dengan nyaring serangga malam dan lalu
lalang beberapa motor yang menemani mereka menuju lokasi.
***
Sampailah mereka tepat di depan gerbang
Villa. Iman dan Bita segera di sambut dua kawan avonturirnya di depan gerbang
itu, Maulana dan Yanto. Segera ia berjabat tangan kepada keduanya dan
memperkenalkan diri.
"Gua Iman Ali Said dan ini kawan gua
Bita Ambarwati. Kita delegasi dari Avonturir Serang Timur". Tangan dan
badannya tegap sembari mengarahkan pandang kepada Bita ketika memperkenalkan
nama teman perempuannya itu.
"Oh ya, selamat datang bro. Silahkan
kalian bisa istirahat dulu. Kamar penginapan laki-laki ke arah kiri, perempuan
ke arah kanan ya" Maulana memandu mereka seperti guide profesional.
Mengarahkan tangannya dengan sopan.
Iman dan Bita membalasnya dengan senyuman dan
serempak berucap. "Oke nuhun Maul".
"Kita simpan barang-barang dulu
ya". Iman izin untuk segera istirahat.
Mereka berdua masuk, melewati gerbang,
mengikuti jalan bebatuan kecil yang menjadi alas penyambut para tamu. Di
penghujung, jalan menyimpang ke kiri dan kanan, tepat di depan Aula terbuka
Villa tersebut mereka berpisah, mencari kamar penginapannya masing-masing.
Tidur dan istirahat setelah lelah menempuh perjalanan dari Maja. Esok pagi, 3
Maret 1998, tepat jam 09.00 para peserta delegasi akan memulai kegiatan.
***
Pagi menjelang. Kicau suara burung dan
gemercik hujan yang sedang turun tidak terlalu deras itu, menghiasi suasana
awal hari. Iman sedikit telat, jam setengah enam pagi ia baru saja bangun.
Segera ke kamar mandi, mengambil air wudhu untuk shalat subuh, meski kesiangan.
Setelah shalat, segera ia membersihkan badan. Menyiapkan pakaian dan mengenakannya.
Celana jeans biru sedikit gombrang di padu dengan kemeja berwarna serupa
dan topi hitam di kepala menjadi pakaian yang di kenakannya pagi itu. Ketika
hendak keluar kamar, iman sekejap memegang kantung kemeja di bagian kiri
bajunya. Merasa ada yang tertinggal, biasanya ada kotak kretek yang terselip di
sana, lantas seketika ia sadar jika sedang berhenti merokok karena penyakit
bronkitis yang di deritanya enam bulan ke belakang. Kejadian itu kerap berulang
seperti sebuah godaan, namun kabar baiknya ia selalu bisa mengatasi.
Waktu telah menunjukkan jam 09.30, Sekitar delapan puluhan orang mengisi ruangan saat itu, di antaranya ada Bita. Iman sudah
duduk di kursi bagian depan. Ia adalah salah satu orang yang diberikan waktu
oleh panitia saat itu untuk menceritakan pengalaman avonturirnya di Banten.
Acara di buka secara formal, berlangsung lancar dan Iman menyampaikan cerita
serta pengalamannya kepada seluruh teman-teman yang ada di forum bahwa
petualangan itu menantang sekaligus menyenangkan. Membuat fikiran kita terbuka
lebih luas ternyata Banten sangat menawan. Tidak lupa tentunya menyehatkan
tubuh juga dapat menghilangkan stress.
Ada momen yang membuat Iman tertegun ketika
di depan forum. Hatinya luruh, sosok yang ia lukis itu terlihat oleh pandangan
mata. Bita duduk di kursi paling belakang, tetap mengenakan rona, bagian atas
ia pakai kemeja lengan panjang warna hitam lengkap dengan pin Avonturir
kesayangannya di kain kerudung sebelah kanan. Pakaian Bita serupa dengan
fotonya yang Iman simpan, foto yang di ambil ketika dahulu mereka petualangan di
pelabuhan Merak. Bita tidak pernah tahu bahwa raut mukanya Iman lukis di setiap
hening malam dengan bertemankan satu lilin di meja. Ia selalu goreskan pena itu
perlahan, memandang teduh penuh kasih di setiap guratan kemudian memajang wajah
yang terbingkai itu di kamarnya penuh ke istimewaan. Demikianlah, hanya ketika
sepi ia benar-benar memiliki dambaannya. Dalam keramaian dan aslinya kehidupan, putra keluarga miskin papa, tak berharta tak berlembaga, tidak pernah sebanding
dengan putri bangsawan. Sutra tak pernah sebangsa dengan benang, Bita adalah
putri bungsu kemenakan orang terpandang.
Penulis : Iman Karto