(Ilustrasi dari Google Images) |
Prakkk, brukkk aku memukul meja dan
medorong ke arahnya, aku melakukannya karena menghindarinya, sudah muak aku
dengannya, tidak perduli siapapun dia. Aku hendak pergi.
04.15 jam paling
kesiangan di sini, karena semua sudah berhamburan meninggalkan dunia mimpinya
di tempat ternyaman menurut mereka, untuk
melaksanakan kewajiban sholat subuh. Aku bangun pada jam di atas, paling
terakhir.
“Sophi? Sophia?” aku
sudah menduga suara teriakan dari luar itu pasti Ane, selama dua tahun terakhir
ini teriakan ia lah yang menjadi alarmku di panti, dan bel untuk membubarkan
lamunanku. Aku belum sempat menghiraukannya karena aku memikirkan sesuatu yang
mengganjal di kepalaku. Tumben sekali saat aku bangun tidur aku memikirkan
sosok perempuan itu, perempuan sial itu.
“Sophia? Apa yang kau
lakukan? Kamu tidak bosan setiap hari kita dimarahi terus? Ayo bangun” teriak
Ane. Dia berhasil membubarkan lamunanku yang kedua kalinya, dan berhasil
membuat aku langsung lompat dari kasur lipat tipisku yang busanya kini sudah
tidak karuan. Maklum saja, Kasur ini aku temukan di gudang panti, bau pesing,
tapi sekarang sudah wangi, karena aku sirami dengan air deterjen, lalu ku
jemur. Jadi pantas saja busanyapun menggumpal-gumpal tidak rata. Ini hanya
bagian paling kecil dari derita dalam hidupku, jadi aku tidak terlalu
perdulikanya.
Aku dan Ane bersahabat,
sudah ku anggap dia sebagai saudara perempuanku, walaupun aku tidak tahu dia
menganggapku sama atau tidak, atau kurasa dia hanya menganggapku salah satu
anak panti yang kebetulan mempunyai nasib sama dengannya, tanpa ibu. Mama Ane
meninggal saat Ane hendak masuk Sekolah Menengah Pertama, papanya lebih dulu.
Ane masuk panti setelah menerima kenyataan bahwa dia yatim piatu. Malang sekali
anak baik itu. Tapi ada yang lebih malang darinya, yaitu aku.
“kamu sedang apa?”
tiba-tiba Ane menghampiriku sambil menepuk pundakku. “aku sedang memikirkan
kenapa kita tidak bisa memilih dilahirkan oleh rahim siapa” Ane menelan ludah,
menatapnya ia ke langit-langit. Kami berdua membisu, sampai kami memutuskan
untuk mengakhiri pembicaraan kami.
Aku suka membuat puisi,
apalagi ketika malam hari. Kali ini kubuat puisi dan mementaskannya dalam
hatiku. “aku tahu perempuan itu, tapi aku anggap tak mengetahuinya, aku tahu
aku dilahirkan dari rahimnya, tapi kuanggap itu hanya kebetulan saja, anak
manapun pasti akan melakukan hal yang sama. Setiap malam perempuan itu pergi
dan kembali pada pagi hari. Yang aku tahu dari cerita anak-anak lain, bahwa ibu
merupakan perempuan terhebat bagi anaknya. Yang katanya ibuku, dia hanya hebat
membohongiku, mentelantarkanku lantas meninggalkanku, dan seakan tidak
perdulikan semua demi menjadi hebat bagi lelaki peminatnya. Aku larut dalam
puisi yang kuambil dari derita hidupku, seperti aku larut dalam penyesalanku.
Aku sangat menyesal saat
kudapati informasi yang sangat menyesakkan, bibiku tiba di panti dengan mata
sembab dan paras kecewa, yang sebelumnya dia meneleponku dan menyuruhku pulang.
Jelas aku tidak mau, malas sekali aku menemui perempuan itu, fikirku. Rasanya
dia marah denganku, karena aku membangkang dan tidak menurutinya. Ternyata dia
ceritakan semuanya, kesalahfahaman kurang lebih lima tahun ini. Perempuan itu
ternyata bukan pelacur, dia kerja keras sendiri untuk menghidupi seorang anak
yang kurang ajar sepertiku. Ya, perempuan itu adalah ibuku. Dia memang menemani
laki-laki, tapi itu adalah saudaraku, tetapi buruknya yaitu untuk menemani
bermain judi, itupun terpaksa karena dia mengancam akan membongkar rahasia ibu
kepadaku tentang penyakit kanker rahim yang dideritanya selama beberapa tahun.
Hanya aku keluarganya yang tidak mengetahui penderitaan ibu, karena egoku. Ibu tidak ingin aku tahu, karena dia tidak
ingin aku sedih memikirkan siapa yang akan menjagaku. Tentang pekerjaannya,
menurut saudaraku yang meminta ibu menemaninya, ibuku membawa keberuntungan
saat dia main judi. Jadi itulah alasan dia memaksa ibu.
Pantas saja, setiap kali
kubertanya, ibu selalu menjawab, “Ibu sedang bekerja membantu orang”. Itu ternyata
sungguhan, tidak mengada-ada sama sekali.
"Ayo bi sekarang
kita pulang!" Sambil menangis keras aku mengajak bibi segera pulang,
karena aku ingin memeluk, mencium kakinya, dan meminta maaf pada ibu. Bibiku
menjawab "ibumu sudah dimakamkan tadi pagi, kalau mau bibi antar kamu ke
makamnya".
Kemudian, pada pementasan
acara perpisahan di panti, saat itu semua murid maju satu persatu untuk
berbicara. Seisi studio menangis dan kesal, bahkan ada yang meraung-raung.
Entah mereka haru atas ceritaku atau malah membenci dan bahkan mengutukku. Dan
aku setuju pada mereka.
Oleh : Nina Far’aini